Tak Peduli Kabar Baik dari RI, Investor Tetap Buang Rupiah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 October 2020 17:13
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (16/10/2020), padahal hampir semua mata uang utama Asia menguat. Pergerakan hari ini mengkonfirmasi rupiah masih tidak disukai investor, yang tercermin dari survei 2 mingguan Reuters.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (15/10/2020) kemarin menunjukkan angka 0,35, membaik dari 2 pekan lalu 0,61. Tetapi kabar buruknya, hanya bath Thailand yang menunjukkan angka positif selain rupiah, itu pun tipis 0,1.

Semakin tinggi angka positif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi short (jual) rupiah, yang artinya semakin tidak disukai.

Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short (jual) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Investor masih tetap tidak suka terhadap rupiah meski kabar bagus datang dari Republik Indonesia.

Bank Indonesia (BI) saat mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa lalu memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal III-2020 bisa mencatatkan surplus. Jika terwujud maka akan menjadi surplus pertama sejak kuartal IV-2011.

"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, Selasa (13/10/2020).

Dengan surplus transaksi berjalan, artinya pasokan devisa cukup besar rupiah punya modal untuk menguat. BI juga punya lebih banyak amunisi menstabilkan rupiah.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) optimistis vaksinasi akan dimulai pada November 2020 dengan menggunakan tiga vaksin cari China.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto vaksin Sinovac, CanSino, dan G42/Sinopharm sudah selesai uji klinis fase 3 di beberapa negara dan telah mendapatkan izin emergency use (penggunaan darurat) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) China.

Khusus vaksin CanSino uji klnis akan selesai September 2020 dan sudah mendapat izin penggunaan darurat dari Pemerintah China dan Kanada. Vaksin ini juga sudah disuntik ke tentara China dan petugas kesehatan.

Kinerja rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di kuartal III-2020 buruk, bahkan sangat buruk jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya. Selain rupiah, hanya baht Thailand yang melemah, sisanya membukukan penguatan.

Sepanjang kuartal III-2020, rupiah merosot 4,65% ke Rp 14.840/US$, sementara baht yang juga melemah jauh lebih baik dengan pelemahan 2,27%.
Saat China sukses meredam virus corona, Indonesia justru sedang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 hingga saat ini. Bahkan, penambahan kasus perharinya masih cenderung tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus baru Covid-19 di Indonesia bertambah sebanyak 4.301 orang. Jumlah kasus baru tersebut membuat akumulasi kasus positif menjadi 353.461 orang.

Dari akumulasi tersebut, sebanyak 277.544 orang sembuh, dan 12.347 orang meninggal dunia, sisanya menjadi kasus aktif.

Akibatnya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat-longgar bolak balik diterapkan, khususnya di DKI Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun nyungsep dan terancam mengalami resesi di kuartal III-2020. Resesi bisa dibilang sudah pasti, yang menjadi misteri adalah seberapa dalam kontraksi ekonomi.

Ketidakpastian tersebut membuat rupiah terus mengalami tekanan.

Rupiah mulai dalam tren pelemahan sejak 8 Juni lalu, saat itu rupiah berada di level Rp 13.850/US$, sementara pada hari ini di Rp 14.680/US$. Artinya selama periode tersebut rupiah melemah sekitar 6%.

Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4%.

Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.

Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Rupiah merupakan mata uang yang mengandalkan yield tinggi untuk menarik minat investor. Kala suku bunga dipangkas, yield tentunya juga akan menurun, sehingga rupiah menjadi kurang menarik.

Pelaku pasar berekspektasi BI masih akan memangkas suku bunga sekali lagi di sisa tahun ini, mengingat inflasi yang sangat rendah, sehingga memberikan ruang pemangkasan yang lebih besar.

Meski BI beberapa kali memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, nyatanya ekspektasi di pasar masih tetap terjaga. Fitch Solutions misalnya, masih konsisten dalam beberapa bulan terakhir memprediksi BI masih akan memangkas suku bunga lagi hingga menjadi 3,75%.

Selain itu, hasil survei 2 mingguan Reuters pertengahan September lalu menunjukkan pelaku pasar kurang berminat terhadap rupiah karena cemas akan rencana revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.

Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular