
RI Deflasi, Investor Lebih Memilih Buru SBN Jangka Pendek

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah bergerak mixed pada perdagangan Selasa (1/9/2020), menyusul rilis data ekonomi nasional yang variatif yakni deflasi Agustus di tengah ekspektasi ekspansi manufaktur Indonesia.
Surat Berharga Negara (SBN) berjatuh tempo pendek diburu investor hari ini, sementara instrumen serupa berjatuh tempo panjang justru dihindari. Yield (imbal hasil) SBN tenor 1, 5, dan 10 tahun tercatat turun, sedangkan tenor 15, 20 dan 30 tahun justru naik.
Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara mengalami penurunan ke level 6,858%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya.
Kenaikan yield yang tertinggi dicatatkan oleh SBN bertenor 20 tahun, sebesar 3,8 basis poin ke 7,43%. Sebaliknya, pelemahan yield terbesar terjadi pada SBN bertenor 1 tahun sebesar 7,8 basis poin ke 3,92%. Satu basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Tenor | Yield (%) | Perubahan |
ID 1Y T-BOND | 3,920 | -7,8 |
ID 5Y T-BOND | 5,537 | -2,30 |
ID 10Y T-BOND | 6,858 | -0,60 |
ID 15Y T-BOND | 7,396 | 0,80 |
ID 20Y T-BOND | 7,430 | 3,80 |
ID 30Y T-BOND | 7,403 | 1,30 |
Pergerakan harga SBN yang saling berkebalikan tersebut terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi hari ini. Inflasi Indonesia pada Agustus berada di angka minus 0,05%, alias deflasi.
Ini mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan (demand side) masyarakat belum pulih, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi. Beberapa pelonggaran yang dilakukan oleh pemerintah justru berujung pada rekor temuan kasus Covid-19.
Inflasi inti juga masih rendah dengan tingkat 0,29% (month on month/mom) dan 2,03% (year on year/yoy). Itu artinya daya beli masyarakat masih terganggu.
Inflasi yang rendah menguntungkan investor obligasi karena keuntungan riil (real return) mereka terjaga. Hanya saja dalam horizon jangka panjang, kondisi tersebut menambah risiko investasi mereka, karena daya beli yang lemah bakal memperberat pertumbuhan ekonomi.
Ini menjelaskan kenapa obligasi jangka pendek diburu, yang tercermin dari kenaikan harga (dan yield-nya menurun), sedangkan obligasi jangka panjang cenderung dilepas sehingga harganya melemah (dan yield-nya meningkat). Investor memilih mengejar obligasi jangka pendek untuk menikmati real return yang ada, dan menghindari risiko jangka panjang.
Di sisi lain, data Purchasing Managers Indeks (PMI) Indonesia Agustus versi IHS Markit yang dirilis hari ini membantu menggairahkan optimisme pasar, setelah berada di angka 50,8 atau naik dari bulan juli di angka 46,9.
Kenaikan angka PMI Agustus dipicu oleh pertumbuhan volume produksi dan arus masuk pesanan baru di tengah ekspektasi pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti pelaku usaha siap berekspansi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%