Dolar AS Lagi Loyo Jadi Angin Segar Buat Utang RI?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 August 2020 15:00
fitch ratings
Foto: Reuters/Reinhard Krause

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah menguat signifikan bulan Maret lalu akibat pandemi Covid-19, dolar AS belakangan ini justru melempem. Fitch Ratings dalam laporan terbarunya menyebutkan pelemahan dolar AS bagus untuk rating surat utang negara-negara berkembang (emerging market/EM).

Posisi dolar AS yang tercermin dalam indeks dolar sampai dengan hari ini masih berada di rentang level terendahnya dalam dua tahun. 

Kebijakan moneter ultra-akomodatif yang ditempuh bank sentral global melalui pemangkasan suku bunga yang agresif serta quantitative easing (QE) disertai dengan membaiknya sentimen global membuat dolar melemah setelah orang-orang berbondong-bondong memilih cash saat WHO mendeklarasikan pandemi.

Berbeda dengan negara maju (developed market/DM) yang kebanyakan meminjam dan menerbitkan surat utang dalam mata uangnya sendiri, negara-negara EM justru sebaliknya. 

Banyak negara-negara EM membutuhkan pembiayaan eksternal dan memiliki porsi surat utang berdenominasi mata uang asing yang juga tak bisa dibilang kecil. Sehingga apresiasi dolar AS berakibat buruk pada rating obligasi negara, begitu juga sebaliknya.

Lantas apakah dengan tren pelemahan dolar ini akan berakibat baik pada rating obligasi pemerintah Indonesia? 

Nyatanya, pelemahan dolar AS terlihat jika disandingkan dengan mata uang negara-negara maju. Sementara jika terhadap nilai tukar rupiah, dolar AS masih berjaya. Memasuki bulan Juni, nilai tukar rupiah berada pada tren depresiasi menuju Rp 15.000/US$. 

Pada penutupan perdagangan pasar spot kemarin, untuk US$ 1 dibanderol di Rp 14.770. Meski menguat dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya, rupiah masih berada pada tren koreksi mengingat di awal Juni lalu dolar AS berada di bawah Rp 14.000.

Di sepanjang tahun berjalan, rupiah masih terdepresiasi 6,41% di hadapan dolar greenback. Sejatinya rupiah tidak terus menerus mengalami tren koreksi. Saat pandemi, outflow besar-besaran membuat rupiah yang kecanduan aliran masuk portofolio (hot money) tertekan hebat. Rupiah sempat anjlok ke Rp 16.550/US$ atau melemah 20%.

Namun seiring dengan intervensi bank sentral serta membaiknya risk appetite pelaku pasar dan investor rupiah berhasil berbalik arah dan menguat tajam. Bahkan rupiah hampir menyamai levelnya di awal tahun pra-pandemi. 

Ini menjadi cerminan bahwa volatilitas nilai tukar rupiah yang tinggi. Jelas volatilitas yang tinggi ini turut berdampak pada kewajiban pemerintah RI terutama dalam membayar utang. 

Apalagi pandemi Covid-19 juga turut memporak-porandakan ekonomi RI. Pada kuartal kedua saja output perekonomian menyusut 5,32% (yoy). Di sisi lain pendapatan dari pajak yang anjlok disertai dengan bengkaknya tanggungan pemerintah membuat defisit fiskal melebar. 

Fitch Ratings memperkirakan defisit fiskal RI bisa mencapai 6% di tahun ini. Melebar dari tahun sebelumnya di angka 2,2%. Lebih lanjut, Fitch Ratings memperkirakan kontraksi ekonomi RI di tahun ini mencapai angka -2% sebelum akhirnya rebound 6,6% di tahun depan akibat fenomena low base effect.

Rasio utang terhadap PDB RI tahun ini diperkirakan berada di angka 36,7% dari tahun sebelumnya yang hanya 30,6% PDB dan akan mencapai puncaknya pada 2022 di angka 39,1%.

Namun kenaikan 6 poin persentase tahun ini masih lebih rendah dibanding negara berkembang lain yang mendapat rating sama dengan RI. Negara-negara EM lain yang mendapat rating BBB mencatatkan median rasio utang terhadap PDB mencapai 51,7% atau naik 9,5 poin persentase dari tahun sebelumnya.

Selain masih lebih rendah dibandingkan negara sejawat, perbaikan dari sisi defisit transaksi berjalan (CAD) juga memberikan peluang untuk rupiah bisa menguat.

Penurunan impor yang lebih tajam dari pada ekspor akibat pelemahan permintaan dan penurunan harga komoditas terutama minyak membuat CAD RI kuartal kedua berada di angka US$ 2,8 miliar atau setara dengan -1,4% PDB, lebih baik dari kuartal sebelumnya yang berada di angka -1,6% PDB.

Lembaga pemeringkat rating asal Paman Sam tersebut memperkirakan CAD RI tahun ini berada di angka -1,8% PDB membaik dari -2,7% PDB tahun 2019. Perbaikan CAD pada kuartal kedua tahun ini membuat neraca pembayaran (BOP) mencatatkan surplus hingga US$ 9,2 miliar. 

Perbaikan CAD & surplus BOP juga dibarengi dengan peningkatan cadangan devisa menjadi US$ 135 miliar pada akhir Juli. Stabilisasi keuangan global dan penerbitan surat utang global RI turut membuat cadangan devisa naik. Kenaikan cadangan devisa ini tentunya membuat amunisi BI untuk stabilisasi nilai tukar menjadi lebih banyak.

Dalam laporan terbarunya yang dirilis 10 Agustus lalu, Fitch Ratings memberikan rating BBB dengan outlook stabil.

Pemerintah sejatinya telah menggelontorkan stimulus fiskal hingga Rp 695 triliun untuk membantu meredam dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian RI. Jumlah tersebut setara dengan 4,4% PDB RI.

Selain itu otoritas fiskal dan moneter Tanah Air juga sepakat untuk melakukan skema burden sharing. Artinya BI dapat membeli surat utang pemerintah secara langsung di pasar primer baik sebagai standby buyer maupun melalui private placement.

Meski stimulus yang digelontorkan banyak, tetapi serapan anggaran masih terbilang minim. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk terus menggenjot serapan anggaran karena menjadi satu-satunya amunisi yang tersisa untuk menyelamatkan perekonomian ketika pos lain seperti konsumsi, investasi dan perdagangan kurang bisa diharapkan.

Di sisi lain tantangan yang juga dihadapi pemerintah adalah rendahnya pendapatan. Rasio utang terhadap pendapatan RI berada di angka 307%, jauh lebih tinggi dibanding negara dengan peringkat BBB lainnya. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular