
Seandainya RI Resesi, Mata Uang Apa yang Bisa Jadi Investasi?
![[DALAM] Resesi](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/06/23/dalam-resesi_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakara, CNBC Indonesia - Resesi menjadi headline di pasar finansial dunia pekan ini. Semua ini tak lepas dari kabar bahwa Singapura resmi mengalami resesi. Pemerintah Singapura pada hari Selasa melaporkan perekonomian mengalami kontraksi di kuartal II-2020. Tidak tanggung-tanggung produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 berkontraksi alias minus 41,2% quarter-to-quarter (QtQ) setelah minus 3,3% di kuartal I-2020. Kontraksi pada periode April-Juni tersebut lebih buruk dari konsensus di Trading Economic sebesar -37,4%.
Sementara secara tahunan atau year-on-year (YoY) PDB minus 12,6%, juga lebih buruk dari konsensus minus 10,5% YoY. Tidak hanya lebih buruk dari konsensus, PDB tersebut juga terburuk sepanjang sejarah Negeri Merlion. Di kuartal I-2020, PDB mengalami kontraksi tipis -0,3% YoY.
Sehingga, Singapura sah mengalami resesi. Terakhir kali Singapura mengalami resesi pada tahun 2008 saat krisis finansial global.
Resesi tidak hanya akan terjadi di Singapura. Banyak negara yang akan menyusul termasuk negara Adikuasa, Amerika Serikat (AS). Maklum, pandemi Covid-19 yang menyerang dunia membuat negara-negara menerapkan kebijakan social distancing hingga lockdown untuk meredam penyebarannya. Kebijakan tersebut membuat roda bisnis melambat bahkan mati suri, sehingga terjadi resesi.
Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) diprediksi berkontraksi 32,4%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Pada kuartal I-2020, ekonomi Republik Indonesia (RI) masih tumbuh 2,97%, sehingga di kuartal II-2020, masih akan selamat dari "hantu" resesi.
Tetapi di kuartal III-2020 tentu ceritanya berbeda. Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC, AS, itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun, Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik atau yang lebih dikenal dengan sebutan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
Di hari yang sama dengan rilis laporan tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.
Juli merupakan awal kuartal III-2020, jika PSBB transisi terus berlanjut, artinya masih belum semua sektor ekonomi yang dibuka, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus. Maklum saja, DKI Jakarta berkontribusi sebesar 29% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional di tahun 2019.
Sehingga jika PDB minus lagi di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi mengalami resesi, mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 diproyeksikan mengalami kontraksi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%. Sementara PDB kuartal III-2020 diramal di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.
Saat resesi melanda, aset-aset berisiko seperti bursa saham ada kemungkinan akan berguguran. Ketika resesi terjadi, aktivitas ekonomi akan menurun, konsumsi masyarakat juga berkurang, sehingga pendapatan maupun laba perusahaan akan tergerus. Sehingga, para investor akan lebih berhati-hati dan memilih bermain aman.
Saat itu terjadi, aset-aset aman (safe haven) yang akan menjadi incaran. Emas menjadi aset safe haven yang paling populer, tetapi ada juga mata uang yang dianggap safe haven. Dolar AS, sudah pasti dianggap sebagai safe haven, sebagai mata uang yang paling banyak ditransaksikan di dunia, dan dari Negeri Adikuasa. Sebagai mata uang yang paling banyak ditransaksikan di dunia, tentunya juga diterima di berbagai negara.
Tetapi selain dolar AS, ada 2 lagi mata uang yang lebih safe haven, yakni franc Swiss dan yen Jepang. Sebelum tahun ini, resesi yang masih paling segar di ingatan kita tentunya saat krisis finansial global 2008.
Perekonomian Indonesia memang masih mampu tumbuh, tetapi tidak dengan perekonomian negara-negara barat, khususnya AS. Sang negara Adikuasa dengan nilai perekonomian terbesar di mengalami resesi setelah PDB mengalami kontraksi dalam 4 kuartal beruntun, mulai kuartall III-2008 hingga kuartal II-2020. Saat itu, kontraksi ekonomi paling tajam terjadi di kuartal IV-2008 sebesar -6,3%.
Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang 2008 rupiah mengalami pelemahan 15,55% melawan dolar AS. Puncak terlemah rupiah yang dilihat dari level penutupan perdagangan di Rp 12.150/US$ atau melemah 29,39% year-to-date (YTD) yang dicapai pada 1 Desember 2008. Di akhir tahun itu, rupiah berada di level Rp 10.850/US$.
Sementara itu, berhadapan dengan franc Swiss, rupiah ambrol 22,69% sepanjang 2008, berakhir di level Rp 10.159,18/CHF. Titik terlemah rupiah di level Rp 10.382,26/CHF yang dicapai pada 29 Desember, saat itu rupiah melemah 25,38% YTD.
Jawara safe haven, yen Jepang menjadi sangat digdaya. Rupiah dibuat ambrol 42,08% di tahun 2008. Posisi akhir 2008 di Rp 119,76/JPY, bandingkan dengan posisi akhir 2007 di Rp 84,29/JPY.
Titik terlemah rupiah di Rp 128,56/JPY yang dicapai pada 1 Desember 2008, kala itu Mata Uang Garuda ambrol 52,52% YTD.
Mata uang yen Jepang dianggap sebagai salah satu aset safe haven karena status Jepang memiliki surplus current account yang besar sehingga memberikan jaminan stabilitas bagi mata uangnya.
Selain itu Negeri Matahari Terbit merupakan negara kreditor terbesar di dunia.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip Reuters, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,4 triliun di akhir tahun 2019, naik 6,7% dari tahun 2018. Status negara kreditor tersebut mampu dipertahankan dalam 29 tahun berturut-turut.
Jumlah aset asing yang dimiliki oleh Jepang tersebut 1,2 kali lebih banyak dari Jerman yang merupakan negara kreditor terbesar kedua di dunia.
Saat terjadi kemerosotan ekonomi secara global seperti saat ini atau gejolak geopolitik, maka para investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi begitu perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
