China Pegang Surat Utang AS Rp 14.400 T, Mau 'Buang' Berapa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 July 2020 12:57
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Dedolarisasi atau mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menggema di China. Aksi 'buang dolar" bukan hal yang baru, China sudah cukup lama melakukannya.. Sebabnya, perang dagang dengan AS yang berlarut-larut.

'Buang dolar' dikatakan sebagai senjata pamungkas China dalam menghadapi AS di bidang ekonomi. Maklum saja, China merupakan negara pemegang obligasi pemerintah AS terbesar di dunia pada tahun lalu.

Isu 'buang dolar' sempat meredup pada penghujung 2019, saat kedua negara mencapai kesepakatan dagang fase I yang akhirnya ditandatangani pada Januari lalu. Namun, isu tersebut kembali muncul belakangan ini akibat memburuknya hubungan kedua negara. 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada akhir April 2020, nilai obligasi pemerintah Negeri Paman Sam yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun (kurs Rp 14.400/US$), atau sekitar 15,8%. Nilai tersebut juga setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Namun jika dilihat ke belakangan, kepemilikan China terus menurun. Pada April 2011 nilainya sebesar US$ 1,11 triliun, artinya berkurang sekitar US$ 40 miliar (Rp 576 triliun) dalam tempo 1 tahun.

Pada April tahun lalu, China masih menjadi negara pemegang obligasi pemerintah AS terbesar di dunia, tetapi posisi tersebut kini disabet oleh Jepang sejak Juni 2019. Pada April 2020, jumlah Treasury yang dimiliki Jepang sebanyak US$ 1,27 triliun atau sekitar 18,7%.

Pemegang obligasi pemerintah AS terbanyak ketiga di dunia adalah Inggris, nilainya sebesar US$ 368,5 miliar, tentunya cukup jauh ketimbang jumlah yang dimiliki China dan Jepang.

Hubungan kedua negara kembali mesra, hingga akhirnya virus corona menyerang dunia. Virus tersebut muncul di kota Wuhan Provinsi Hubei China. Awalnya, virus tersebut hanya menginfeksi warga Wuhan, tetapi dalam hitungan pekan langsung menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Negeri Paman Sam.

Kabar buruknya lagi, AS menjadi negara dengan jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terbanyak di dunia. Sementara China justru sukses meredam laju penyebaran virus tersebut.

Berdasarkan data dari Worldometer, hingga saat ini virus corona sudah menyerang lebih dari 200 negara/wilayah, dengan lebih dari 13,2 juta orang terinfeksi, sekitar 575 ribu diantaranya meninggal dunia.

Jumlah kasus di AS sendiri hingga saat ini lebih dari 3,47 juta orang, dan masih terus menanjak. Korban meninggal dilaporkan lebih dari 138 ribu orang. Jumlah pasien yang sembuh dilaporkan lebih dari 1,5 juta orang, sehingga kasus aktif saat ini sekitar 1,79 juta orang.

Itu baru dari dari segi kesehatan, belum lagi dampak ekonomi yang ditimbulkan. Produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal I-2020 dilaporkan minus 5%, dan masih akan lebih buruk lagi di kuartal II-2020.

Oleh karenanya, Presiden AS, Donald Trump, kesal dan akan menuntut ganti rugi ke China. Trump juga menuduh virus corona berasal dari sebuah laboratorium di China.

Perekonomian China juga mengalami berkontraksi di kuartal I-2020 sebesar -6,8%. Tetapi belakangan ini tanda-tanda kebangkitan sudah muncul, sektor manufaktur mampu berekspansi 4 bulan beruntun, sementara inflasi juga mulai naik kembali.Di sisi lain, China berhasil mengendalikan penyebaran virus corona. Hingga saat ini jumlah kasus Covid-19 di China 'hanya' 83.605 orang, dengan 4.634 orang meninggal dunia, dan 78.647 sembuh. Artinya kasus aktif di China lagi-lagi 'hanya' 297 orang.

Hubungan kedua negara terlihat semakin memburuk, pada pekan lalu Trump mengatakan hubungan dengan China 'sangat rusak' akibat virus corona, dan tidak lagi menjadikan perundingan dagang fase II sebagai prioritas. Belum lagi masalah Hong Kong, yang merupakan bagian dari China dan AS ikut campur di dalamnya. Hubungan kedua negara benar-benar sedang memburuk.

Akibatnya, isu "bunga dolar" kembali mencuat, dan China disebut berusaha menaikkan pamor yuan China sebagai mata uang internasional.

"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.

Yuan saat ini sudah memiliki status istimewa, yakni satu dari lima mata uang yang termasuk dalam Special Drawing Rights (SDR) Dana Moneter Internasional (IMF). Empat mata uang lainnya yakni dolar AS, euro, yen, dan poundsterling. Status tersebut baru didapatkan pada September 2016 dan menguatkan posisi yuan sebagai mata uang internasional.

Tetapi, meski sudah mendapat status istimewa tersebut, dibandingkan mata uang lainnya porsi yuan dalam cadangan devisa memang sangat kecil. Sejak awal menjadi SDR IMF, porsi yuan di cadangan devisa global hanya 1,07% di kuartal IV-2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jurus Kamehameha China Lawan AS: Mulai 'Buang Dolar'!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular