
Inflasi & Kasus Corona Naik, Rupiah Tertekan 7 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (greenback) pada perdagangan sepekan ini (week-on-week/WoW) terdepresi atau melemah 2,12%. Kini US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.450/US$ pada penutupan Jumat (3/7/2020) dari Rp 14.1500/US$ pada penutupan akhir pekan lalu (26/6/2020).
Sepekan ini tak sehari pun rupiah mengalami penguatan terhadap greenback. Depresi ini dipicu oleh risiko kenaikan inflasi, lonjakan kasus terinfeksi virus corona (Covid-19) di dalam negeri dan juga tanda-tanda kebangkitan ekonomi AS membuat rupiah menderita pukulan hebat.
Pada perdagangan Jumat kemarin (29/5/2020), nilai tukar rupiah bahkan sempat mencapai level Rp 14.590/US$, yang merupakan level terlemah sejak 29 Mei 2020 lalu. Namun, di penutupan perdagangan rupiah akhirnya memangkas pelemahan, meski harus terkoreksi 1,01% menjadi Rp 14.450/US%.
Dengan pelemahan kemarin, rupiah resmi membukukan pelemahan dalam 7 hari beruntun, terpanjang sejak bulan Februari ketika melemah 8 hari berturut-turut. Kinerja rupiah juga paling buruk di Asia sepekan ini.
Lonjakan kasus terinfeksi virus corona menjadi salah satu sentimen negatif bagi kinerja rupiah sepekan ini. Berdasarkan data pada 3 Juli 2020 kemarin per pukul 12.00 WIB jumlah kasus konfirmasi positif virus corona di Tanah Air naik 1.301 menjadi 60.695. Sementara itu yang sembuh bertambah 901 menjadi 27.568. Sedangkan yang meninggal bertambah 49 menjadi 3.036.
Sementara itu, terus merosotnya rupiah di pekan ini terjadi akibat kecemasan pelaku pasar akan kemungkinan naiknya inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin lalu setuju "sharing the pain" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). BI setuju untuk membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Selain itu, yang menjadi pendorong penguatan dolar AS juga seiring dengan laporan data ekonomi yang terus memberikan gambaran pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam tersebut.
Laporan data dari Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan rekor lonjakan dalam pekerjaan di bulan Juni. Laporan itu mengatakan pekerjaan penggajian non-pertanian melejit sebesar 4,8 juta pekerjaan pada bulan Juni setelah melonjak 2,7 juta pekerjaan pada bulan Mei.
Sementara para ekonom telah memperkirakan lapangan kerja akan meningkat hanya sekitar 3,0 juta pekerjaan.
Departemen Tenaga Kerja juga mengatakan tingkat pengangguran turun menjadi 11,1% pada bulan Juni dari 13,3% pada bulan Mei. Di saat tingkat pengangguran diperkirakan akan turun ke 12,3%.
"Peningkatan 4,8 juta dalam penggajian non-pertanian pada bulan Juni memberikan konfirmasi lebih lanjut bahwa rebound ekonomi awal telah jauh lebih cepat daripada yang kami dan sebagian besar lainnya perkirakan," kata Michael Pearce, Ekonom Senior AS di Capital Economics, melansir RTTNews.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(har/har)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS