Duh, Gusti! AS-China Panas Lagi, Rupiah Lesu Lagi...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 June 2020 09:26
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Pelaku pasar khawatir akan hubungan AS-China yang memburuk

Pada Selasa (23/6/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.110 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.

Namun sejurus kemudian rupiah langsung melemah. Pada pukul 09:11 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.130 di mana rupiah melemah 0,14%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,43% di hadapan dolar AS. Akhir pekan lalu, rupiah melemah 0,29%. Artinya, rupiah kemungkinan melemah tiga hari beruntun jika masih saja merah sampai tutup lapak.

Awalnya, sentimen positif menggelayuti pasar. Ini terlihat dari penguatan di bursa saham New York.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,59% menjadi 26.024,96, S&P 500 bertambah 0,65% ke 3.117,86, dan Nasdaq Composite menanjak 1,11% ke posisi 10.056,475. Nasdaq mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.

Investor memang masih mengkhawatirkan risiko gelombang serangan virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Per 22 Juni, jumlah pasien positif corona di kolong atmoster adalah 8.860.331 orang. Bertambah 152.323 orang (1,75%) dibandingkan hari sebelumnya.

Namun di sisi lain, sejumlah data ekonomi terbaru terlalu sayang untuk diabaikan begitu saja. Sebab, ada sinyal aktivitas ekonomi mulai bangkit dari keterpurukan.

National Activity Index terbitan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Chicago pada Mei tercatat sebesar 2,61. Melonjak tajam dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar -17,89 dan sekaligus menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Kemudian dari Eropa, pembacaan awal Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Zona Euro menunjukkan angka -14,7. Masih minus, tetapi membaik ketimbang bulan sebelumnya yang -18,8. Setelah menyentuh titik nadir pada April, IKK Zona Euro terus membaik.

Lalu di Australia, pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur periode Juni berada di angka 49,8. Masih di bawah 50, artinya dunia usaha belum melakukan ekspansi.

Akan tetapi, angka tersebut lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu 49,3. Juga melonjak lumayan tajam dari posisi Mei yang berada di 44.

Dengan perkembangan ekonomi yang ciamik ini, pelaku pasar berekspektasi bahwa meski ada gelombang serangan kedua virus corona, tetapi sepertinya pemerintah di berbagai negara tidak akan menerapkan karantina wilayah (lockdown). Sebab ekonomi yang mulai mendapat momentum pemulihan tidak bisa dimatikan begitu saja.

"Pelaku pasar sudah punya persepsi mengenai gelombang serangan kedua. Namun sepertinya walau itu terjadi tidak akan membuat ekonomi terpukul terlalu berat, karena para pembuat kebijakan tentu berpikir ulang untuk menerapkan lockdown seperti dulu," kata Yukio Ishizuki, Senior Strategist di Daiwa Securities, seperti dikutip dari Reuters.

"Investor coba melakukan kalibrasi antara peningkatan kasus corona dan data ekonomi yang membaik. Hasilnya, mungkin akan ada pengetatan sosial distancing, atau reclosing, tetapi parsial saja," tambah Art Hogan, Strategist di National Securities, seperti dikutip dari Reuters.

Penutupan parsial atau mini-lockdown adalah pemberlakuan karantina hanya di daerah lingkup tertentu yang mencatatkan penambahan kasus corona dalam jumlah signifikan. Contohnya di Beijing, kala muncul kluster penyebaran baru dari sebuah pasar tradisional, hanya 11 kawasan yang diberlakukan lockdown dengan penjagaan ketat aparat selama 24 jam. Tidak seluruh Kota Beijing yang 'dikunci'.

Langkah ini diharapkan mampu mempersempit ruang gerak virus corona hanya di zona merah, sehingga penanganan bisa lebih fokus. Sementara di daerah lain, aktivitas masyarakat tetap berjalan sehingga roda ekonomi terus berputar. Dengan demikian, harapan pemulihan ekonomi tetap terjaga walau tidak setinggi sebelumnya. 

Namun sentimen positif itu langsung luntur pagi ini. Gara-garanya adalah penyataan Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih.

Dalam wawancara dengan Fox News, seperti dikutip oleh Reuters, Navarro mengungkapkan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah selesai. Kedua negara sudah meneken perjanjian dagang fase I pada Januari lalu. Namun sepertinya tidak ada fase-fase berikutnya.

"Sudah selesai. Mereka mengirimkan ratusan orang ke negara ini untuk menyebarkan virus. Beberapa menit setelah pesawat mereka lepas landas untuk kembali ke negaranya, saat itulah kami mulai mendengar soal pandemi ini," tegas Navarro.

Ya, Washington sepertinya masih gondok dan menyalahkan China atas penyebaran virus corona di Negeri Adidaya. Bahkan Navarro sampai berteori para delegasi China yang hadir dalam penandatanganan perjanjian damai dagang fase I menjadi biang keladi penularan virus corona.

Sejauh ini Beijing belum memberikan tanggapan. Namun bisa dipastikan bahwa China tentu tidak akan terima dengan tudingan Gedung Putih.

Selain pandemi virus corona, sepertinya dunia juga harus menghadapi masalah yang tidak kalah pelik yaitu friksi AS-China. Bukan tidak mungkin perang dagang kedua negara bisa meletus lagi seperti tahun lalu.

Pandemi corona saja sudah berat, ditambah perang dagang pula. Aduh, Gusti...

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar AS Balas Dendam, Rupiah Dibikin KO Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular