Dulu "Disemprit" Jokowi Kini Sri Mulyani, Rupiah Sekuat Apa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 June 2020 16:54
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah begitu perkasa sejak memasuki bulan April hingga awal Juni saat sempat berada di bawah level psikologis Rp 14.000/US$. Pada 23 Maret rupiah sempat menyentuh Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Sementara pada 8 Juni lalu, rupiah menyentuh Rp 13.810/US$. Jika dilihat dari 2 posisi tersebut, rupiah sudah membuka penguatan 16,91%.

Setelah mencapai level Rp 13.810/US$, rupiah perlahan mulai terkoreksi. Pada penutupan perdagangan hari ini, Jumat (19/6/2020) rupiah melemah 0,29% ke Rp 14.050/US$

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021 kemarin menyampaikan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.

"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."

"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.

Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.

Nilai tukar rupiah sepanjang 2020 diproyeksikan berada di Rp 14.500 - 15.500/US$. Sementara di tahun 2021 di Rp 14.900 - 15.300/US$.

Pada bulan Januari lalu, ketika virus corona belum menjadi pandemi dan memicu pelambatan ekonomi, rupiah juga sudah "disemprit" Presiden Joko Widodo karena terus terapresiasi. Saat itu, rupiah berada di level terkuat dalam 2 tahun terakhir melawan dolar AS, dan menyentuh level Rp 13.565/US$.

"Nilai tukar rupiah kita menguat. Kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati," kata Jokowi saat menjadi pembicara dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Ritz Carlton, SCBD, Kamis (16/1/2020).

"Ada yang tidak senang dan ada yang senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat, menguat, menguat," kata Jokowi lagi.

Itu di bulan Januari, lantas saat ini seberapa kuat rupiah?

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah berada di urutan ke-11 klasemen mata uang, masih jauh dibandingkan bulan Januari lalu, ketika rupiah berada di puncak klasemen dengan penguatan lebih dari 2% secara year-to-date (YTD). Sementara saat ini, rupiah masih tercatat melemah 1,22% YTD. 

idrFoto: Refinitiv

Setelah mengalami gejolak di bulan Maret, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998, rupiah perlahan mulai menguat lagi sejak awal April. Hingga pada pekan lalu menyentuh level Rp 13.810/US$ yang merupakan level terkuat sejak 24 Februari.

Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan survei 2 mingguan yang dilakukan oleh Reuters.

Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (11/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,69, turun jauh dari rilis dua pekan sebelumnya -0,05. Hasil tersebut menjadi penurunan keenam beruntun.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah. Artinya rupiah semakin diminati pelaku pasar, dan ke depannya diprediksi akan terus menguat, sehingga mengambil posisi long.

Di bandingkan mata uang Asia lainnya, posisi long rupiah menjadi yang tertinggi. Itu artinya rupiah sangat menarik bagi pelaku pasar, dan menjadi mata uang terbaik untuk dijadikan investasi.

Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.

Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

Dengan posisi long rupiah yang terus meningkat, memang ada peluang rupiah akan terus menguat di sisa tahun ini.

Secara teknikal, rupiah memiliki ruang penguatan hingga ke level terkuat di tahun ini Rp 13.565/US$.

Mata Uang Garuda saat ini sedang berada dalam fase konsolidasi sejak pekan lalu. Fase konsolidasi semakin terlihat setelah di awal pekan rupiah membentuk pola Doji.

Posisi pembukaan pasar dan penutupan pasar Senin (15/6/2020) sama di Rp 14.050/US$, dan membentuk ekor (tail) yang hampir seimbang ke atas dan bawah. Secara teknikal, rupiah disebut membentuk pola Doji, dan berarti pasar sedang ragu kemana arah pasar selanjutnya.

Terbukti, setelah membentuk Doji, rupiah tidak mampu jauh-jauh dari level psikologis Rp 14.000/US$.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian 
Foto: Refinitiv

Indikator stochastic pada grafik sudah keluar dari wilayah jenuh jual (oversold), sehingga tekanan jual rupiah menjadi berkurang.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.

Level psikologis Rp 14.000/US$ menjadi kunci pergerakan rupiah dalam jangka panjang. Selama tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.300/US$ sebelum menuju Rp 14.730/US$ (Fibonnaci Retracement 61,8%).

Sebaliknya jika mampu bertahan di bawah Rp 14.000/US$ rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100%.

Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).

Sampai akhir tahun nanti, rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp 13.565 - 14.730/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular