
Social Distancing Mulai Bikin Gerah, Rupiah Pun Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 April 2020 09:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Penguatan yang sudah rada 'ugal-ugalan' membuat rupiah rentan terkoreksi.
Pada Senin (20/4/2020), US$ 1dihargai Rp 15.420 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sepanjang pekan lalu, rupiah begitu perkasa degan apresiasi 2,53% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia.
Sejak akhir bulan lalu atau month-to-date, penguatan rupiah terhadap dolar AS juga luar biasa yaitu mencapai 5,52%. Lagi-lagi mata uang Tanah Air adalah yang terbaik di Asia.
Penguatan yang begitu tajam ini membuat rupiah rentan terpapar aksi jual. Keuntungan yang didapat investor dari rupiah sudah lumayan tinggi, sehingga menjadi sangat menggoda untuk dijual. Rupiah yang terhantam aksi profit taking ini tentu bakal melemah.
Itu dari dalam negeri. Ternyata ada pula sentimen eksternal yang membuat rupiah melemah. Sentimen ini pula yang membuat mata uang Asia lainnya tidak berdaya di hadapan dolar AS.
Investor kini mulai mencemaskan dampak dari kebijakan pembatasan sosial (social distancing) yang diterapkan untuk menekan penyebaran virus corona. Kebijakan ini memang bisa menyelamatkan nyawa, tetapi harus dibayar dengan harga mahal yaitu ancaman resesi ekonomi.
Social distancing mengharuskan setiap orang menjaga jarak, minimal 1,5-2 meter antar manusia dengan manusia lainnya. Jadi segala bentuk aktivitas yang membuat orang berkumpul sehingga tidak tercipta jarak yang memadai, harus dilarang. Ini membuat pabrik dan perkantoran di sektor non-vital harus ditutup untuk sementara waktu.
Di satu sisi dunia usaha tidak mendapatkan pemasukan, tetapi di sisi lain ada biaya yang argometernya terus berjalan. Akibatnya, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sebuah fenomena.
Di AS, jumlah klaim tunjangan pengangguran dalam sebulan terakhir sudah sekitar 22 juta. Artinya semakin banyak warga negara AS yang membutuhkan uluran tangan pemerintah, karena mereka tidak bisa mencari nafkah sendiri akibat PHK.
Namun berbagai negara bagian merasa belum siap untuk membuka sumbat social distancing dan karantina wilayah (lockdown). Meski ada penurunan kasus dan korban jiwa akibat corona, tetapi masih terlalu dini untuk menyebutnya sebagai sebuah tren.
Misalnya di New York, episentrum corona di AS. Pertumbuhan jumlah pasien dan korban jiwa akibat virus corona memang turun, tetapi Gubernur Andrew Cuomo masih belum yakin untuk melakukan pelonggaran social distancing.
"Ini baru turun minum (half time). Kami harus terus memastikan bahwa monster sudah berhasil dikalahkan," kata Cuomo, seperti dikutip dari Reuters. Cuomo masih meminta warganya untuk mempraktikkan social distancing.
Gerah dengan social distancing yang tidak kunjung berakhir, rakyat AS mulai turun ke jalan. Aksi demonstrasi terjadi di sejumlah kota di Negeri Paman Sam, menuntut agar aktivitas ekonomi dibuka kembali.
"USA! USA! Biarkan kami bekerja!" demikian seru para demonstran di Austin (Texas), seperti diberitakan Reuters.
Apa yang dikhawatirkan perlahan mulai menjadi kenyataan. Awalnya memang social distancing, tetapi kemudian bertransformasi menjadi social unrest (keresahan sosial).
Tadinya tidak ada pertentangan bahwa aspek kesehatan harus didahulukan, karena aspek ekonomi adalah dampak turunan dari penyebaran virus corona yang merupakan krisis kesehatan. Namun kalau berlangsung terlalu lama, dapur rakyat menjadi terancam dan pasti menimbulkan keresahan.
Situasi ini tentu membuat investor sangat tidak nyaman. Pandemi virus corona di sisi kesehatan kian mengkhawatirkan, di mana Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 2.241.359 orang per 19 April 2020. Bertambah 81.153 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara jumlah pasien meninggal dunia juga semakin banyak. Per kemarin, jumlah pasien positif corona yang tutup usia adalah 152.551 orang, bertambah 6.463 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Akan tetapi di aspek sosial-ekonomi, dampak pandemi virus corona pun semakin terlihat. PHK meningkat, pengangguran bertambah, demonstrasi mulai merebak.
"Pandemi ini bisa menjadi ancaman bagi upaya kita untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Ada risiko peningkatan keresahan sosial dan kekerasan, yang kemudian mengurangi kekuatan kita untuk melawan virus corona," tegas Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB belum lama ini, sebagaimana diwartakan Reuters.
Oleh karena itu, mari berharap pandemi virus corona segera teratasi. Jika tidak, maka penerapan social distancing akan semakin lama dan berisiko berubah menjadi social unrest. Amit-amit, tetapi ini adalah risiko yang harus masuk perhitungan para pengambil kebijakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (20/4/2020), US$ 1dihargai Rp 15.420 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sepanjang pekan lalu, rupiah begitu perkasa degan apresiasi 2,53% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia.
Penguatan yang begitu tajam ini membuat rupiah rentan terpapar aksi jual. Keuntungan yang didapat investor dari rupiah sudah lumayan tinggi, sehingga menjadi sangat menggoda untuk dijual. Rupiah yang terhantam aksi profit taking ini tentu bakal melemah.
Itu dari dalam negeri. Ternyata ada pula sentimen eksternal yang membuat rupiah melemah. Sentimen ini pula yang membuat mata uang Asia lainnya tidak berdaya di hadapan dolar AS.
Investor kini mulai mencemaskan dampak dari kebijakan pembatasan sosial (social distancing) yang diterapkan untuk menekan penyebaran virus corona. Kebijakan ini memang bisa menyelamatkan nyawa, tetapi harus dibayar dengan harga mahal yaitu ancaman resesi ekonomi.
Social distancing mengharuskan setiap orang menjaga jarak, minimal 1,5-2 meter antar manusia dengan manusia lainnya. Jadi segala bentuk aktivitas yang membuat orang berkumpul sehingga tidak tercipta jarak yang memadai, harus dilarang. Ini membuat pabrik dan perkantoran di sektor non-vital harus ditutup untuk sementara waktu.
Di satu sisi dunia usaha tidak mendapatkan pemasukan, tetapi di sisi lain ada biaya yang argometernya terus berjalan. Akibatnya, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi sebuah fenomena.
Di AS, jumlah klaim tunjangan pengangguran dalam sebulan terakhir sudah sekitar 22 juta. Artinya semakin banyak warga negara AS yang membutuhkan uluran tangan pemerintah, karena mereka tidak bisa mencari nafkah sendiri akibat PHK.
Namun berbagai negara bagian merasa belum siap untuk membuka sumbat social distancing dan karantina wilayah (lockdown). Meski ada penurunan kasus dan korban jiwa akibat corona, tetapi masih terlalu dini untuk menyebutnya sebagai sebuah tren.
Misalnya di New York, episentrum corona di AS. Pertumbuhan jumlah pasien dan korban jiwa akibat virus corona memang turun, tetapi Gubernur Andrew Cuomo masih belum yakin untuk melakukan pelonggaran social distancing.
"Ini baru turun minum (half time). Kami harus terus memastikan bahwa monster sudah berhasil dikalahkan," kata Cuomo, seperti dikutip dari Reuters. Cuomo masih meminta warganya untuk mempraktikkan social distancing.
Gerah dengan social distancing yang tidak kunjung berakhir, rakyat AS mulai turun ke jalan. Aksi demonstrasi terjadi di sejumlah kota di Negeri Paman Sam, menuntut agar aktivitas ekonomi dibuka kembali.
"USA! USA! Biarkan kami bekerja!" demikian seru para demonstran di Austin (Texas), seperti diberitakan Reuters.
Apa yang dikhawatirkan perlahan mulai menjadi kenyataan. Awalnya memang social distancing, tetapi kemudian bertransformasi menjadi social unrest (keresahan sosial).
Tadinya tidak ada pertentangan bahwa aspek kesehatan harus didahulukan, karena aspek ekonomi adalah dampak turunan dari penyebaran virus corona yang merupakan krisis kesehatan. Namun kalau berlangsung terlalu lama, dapur rakyat menjadi terancam dan pasti menimbulkan keresahan.
Situasi ini tentu membuat investor sangat tidak nyaman. Pandemi virus corona di sisi kesehatan kian mengkhawatirkan, di mana Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 2.241.359 orang per 19 April 2020. Bertambah 81.153 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara jumlah pasien meninggal dunia juga semakin banyak. Per kemarin, jumlah pasien positif corona yang tutup usia adalah 152.551 orang, bertambah 6.463 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Akan tetapi di aspek sosial-ekonomi, dampak pandemi virus corona pun semakin terlihat. PHK meningkat, pengangguran bertambah, demonstrasi mulai merebak.
"Pandemi ini bisa menjadi ancaman bagi upaya kita untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Ada risiko peningkatan keresahan sosial dan kekerasan, yang kemudian mengurangi kekuatan kita untuk melawan virus corona," tegas Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB belum lama ini, sebagaimana diwartakan Reuters.
Oleh karena itu, mari berharap pandemi virus corona segera teratasi. Jika tidak, maka penerapan social distancing akan semakin lama dan berisiko berubah menjadi social unrest. Amit-amit, tetapi ini adalah risiko yang harus masuk perhitungan para pengambil kebijakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular