Ekonomi Dunia Diproyeksi Negatif, Bagaimana Indonesia?

Haryanto, CNBC Indonesia
18 April 2020 17:06
Logo IMF
Foto: CNBC

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah lembaga dunia telah memperkirakan bahwa ekonomi dunia di tahun 2020 akan mengalami kontraksi akibat pandemi virus corona (Covid-19) yang berujung ke jurang resesi.

Pandemi COVID-19 yang meningkat di seluruh dunia menimbulkan biaya hidup manusia yang tinggi, dan langkah-langkah perlindungan yang diperlukan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi.

Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath yang bertajuk 'The Great Lockdown', penurunan ekonomi akan menjadi yang terburuk sejak Depresi Hebat (Great Depression) dikala menghantam perekonomian dunia pada 1929 silam.

Gita memperkirakan, outlook perekonomian global sepanjang April 2020 akan terkoreksi cukup tajam minus 3 persen akibat pandemi menjadikan yang terburuk sejak krisis finansial global pada 2008-2009 yang minus 0,1%.

Dalam skenario dasar, yang mengasumsikan bahwa pandemi memudar pada paruh kedua tahun 2020 dan upaya pembatasan sosial dapat secara bertahap dilonggarkan ekonomi global diproyeksikan tumbuh sebesar 5,8% pada tahun 2021 ketika kegiatan ekonomi menjadi normal, dibantu oleh dukungan kebijakan.

Sementara dari lembaga lainnya juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2020 akan terkontraksi. JP Morgan memperkirakan ekonomi dunia minus 1,1%, sementara Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi untuk minus 2,2%, sedangkan Fitch memproyeksikan ekonomi dunia untuk minus 1,9%.

Tahun ini, IMF bahkan memperkirakan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini hanya akan tumbuh 0,5% dari proyeksi sebelumnya 5% di tahun 2019. Namun pertumbuhan diproyeksi bisa membaik di 2021, dengan perkiraan 8,2%.

Mengutip risiko penyebaran global virus corona, Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik untuk tahun 2020 dari 5,0%-5,4% menjadi 4,2%-4,6%. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik untuk rebound pada 2021 menjadi 5,2%-5,6% setelah Covid-19 berlalu dan pemulihan selanjutnya dalam iklim investasi.

Sementara itu, Lembaga pemeringkat kredit Standard & Poor's Global Ratings (S&P) mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada posisi BBB, namun menurunkan outlook dari stabil ke negatif pada keterangan kemarin (17/4/2020).

Dalam laporannya S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada BBB karena tatanan kelembagaan yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan kebijakan fiskal yang secara historis cukup prudent.

Kebijakan pemerintah Indonesia dinilai mampu menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang sedang berkembang saat ini.

Di sisi lain, kebijakan tersebut mengakibatkan peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang.

Sementara itu, outlook negatif mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia menghadapi kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi COVID-19.

Menanggapi keputusan S&P tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan, “Outlook negatif ini diyakini bukan cerminan dari permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu oleh kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi COVID-19 yang bersifat temporer.”

Hingga triwulan I 2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan ada yg membaik.

Fitch pada Januari dan Moody’s pada Februari memutuskan untuk mempertahankan peringkat Indonesia masing-masing pada BBB dengan outlook Stabil dan Baa2 dengan outlook Stabil. JCRA dan R&I, masing-masing pada Januari dan Maret, bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB dengan outlook Stabil.

Gubernur Bank Indonesia menambahkan, “Ketidakpastian kondisi ekonomi dan keuangan saat ini merupakan fenomena global dan Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang telah mengambil langkah-langkah kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan untuk mengatasi dampak negatif penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

S&P juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8% pada tahun ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19 sebelum membaik secara kuat pada satu atau dua tahun ke depan.

Keputusan Pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah langkah kebijakan fiskal yang berani akan membantu mencegah pemburukan ekonomi jangka panjang. Karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia diperkirakan akan tetap jauh di atas rata-rata negara peers.

Keunggulan dari sisi kinerja ekonomi jangka panjang ini mengindikasikan dinamika ekonomi yang konstruktif di Indonesia.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(har/har) Next Article Saat IMF Bicara Ekonomi Moncer, Harga Batu Bara Kok Nyungsep?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular