
Analisis
Stimulus Jokowi Tak Mampu Dongkrak Rupiah, Masih Nomor Buncit
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 April 2020 13:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (1/4/2020), bahkan kembali menjadi yang terburuk di Asia.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,15% ke Rp 16.320/US$. Depresiasi terus berlanjut hingga 0,8% di Rp 16.430/US$ pada pukul 13:00 WIB.
Pelemahan hari ini menjadi awal yang kurang bagus bagi rupiah memasuki kuartal II-2019 setelah di kuartal I lalu ambles lebih dari 17% dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Pandemi virus corona (COVID-19) memberikan pukulan telak bagi rupiah. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga pagi ini kasus COVID-19 sudah "menyerang" 180 negara/wilayah, dengan lebih dari 850.000 terjangkit, 42.032 orang meninggal dunia dan 177.857 dinyatakan sembuh.
Sementara di Indonesia hingga Selasa kemarin sudah ada 1.528 kasus positif COVID-19, dengan 136 orang meninggal dunia dan 81 sembuh.
Akibat pandemi tersebut, banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) demi meredam penyebarannya. Dampaknya, aktivitas ekonomi menurun tajam, dan resesi kembali datang.
Guna memerangi COVID-19, Presiden Joko Widodo kemarin mengumumkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun
Termasuk Rp 150 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
"Termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi," jelas Jokowi, Selasa (31/3/2020).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat di perdagangan sesi I hari ini merespon stimulus tersebut. Tetapi, stimulus tersebut kurang manjur terhadap rupiah, meski uarus modal keluar (capital outflow) yang terlihat dari aksi jual bersih investor asing di pasar saham senilai Rp 71,07 miliar di pasar reguler dan non-reguler.
Capital outflow yang terjadi membuat rupiah terus merosot. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian terkini Selasa siang mengatakan dana asing masih pergi dari pasar Indonesia. Ia mengatakan, terjadi outflow atau aliran dana asing keluar hingga Rp 145,1 triliun.
"Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar SBN dan Rp 9,9 triliun di pasar saham," katanya.
Sementara itu, dampak COVID-19 ke sektor riil di dalam negeri sudah mulai terlihat, aktivitas sektor manufaktur mengalami kontraksi di bulan Maret.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya akibat pandemi COVID-19. Rupiah pun semakin tertekan.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,15% ke Rp 16.320/US$. Depresiasi terus berlanjut hingga 0,8% di Rp 16.430/US$ pada pukul 13:00 WIB.
Pelemahan hari ini menjadi awal yang kurang bagus bagi rupiah memasuki kuartal II-2019 setelah di kuartal I lalu ambles lebih dari 17% dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Sementara di Indonesia hingga Selasa kemarin sudah ada 1.528 kasus positif COVID-19, dengan 136 orang meninggal dunia dan 81 sembuh.
Akibat pandemi tersebut, banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) demi meredam penyebarannya. Dampaknya, aktivitas ekonomi menurun tajam, dan resesi kembali datang.
Guna memerangi COVID-19, Presiden Joko Widodo kemarin mengumumkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun
Termasuk Rp 150 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
"Termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi," jelas Jokowi, Selasa (31/3/2020).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat di perdagangan sesi I hari ini merespon stimulus tersebut. Tetapi, stimulus tersebut kurang manjur terhadap rupiah, meski uarus modal keluar (capital outflow) yang terlihat dari aksi jual bersih investor asing di pasar saham senilai Rp 71,07 miliar di pasar reguler dan non-reguler.
Capital outflow yang terjadi membuat rupiah terus merosot. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian terkini Selasa siang mengatakan dana asing masih pergi dari pasar Indonesia. Ia mengatakan, terjadi outflow atau aliran dana asing keluar hingga Rp 145,1 triliun.
"Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar SBN dan Rp 9,9 triliun di pasar saham," katanya.
Sementara itu, dampak COVID-19 ke sektor riil di dalam negeri sudah mulai terlihat, aktivitas sektor manufaktur mengalami kontraksi di bulan Maret.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya akibat pandemi COVID-19. Rupiah pun semakin tertekan.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular