
Mengukur Peluang BNI Setelah Virus Corona Berlalu
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
30 March 2020 18:25

Jakarta, CNBC Indonesia- Perang dagang yang mewarnai 2019 ditambah dengan merebaknya pandemi COVID-19 atau virus corona di awal 2020 menimbulkan ketidakpastian perekonomian dunia. Ketidakpastian ini menjalar ke berbagai sektor dan membuat pasar bergerak volatil.
Hal ini juga berlaku bagi industri perbankan menjadi penuh tantangan, dan membuat harga saham bank berguguran. Meski demikian, ini juga menjadi saat yang tepat bagi investor untuk mengoleksi saham perbankan, meski tertekan tapi masih tumbuh menjanjikan.
Salah satu saham bank yang dilirik yakni saham bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Pada akhir perdagangan Senin (30/03/2020), harga saham BBNI ditutup Rp 3.720/ saham, melemah 6,77% dibandingkan penutupan sebelumnya yang menguat di posisi 3.990 pada Jumat (27/03/2020).
Saham BBNI masih tetap menarik bagi investor, terutama investor domestik yang memborong saham Bank BNI hingga Rp 90,2 miliar, dan investor asing senilai Rp 76,8 miliar. RTI mencatat beli bersih asing (all market) senilai Rp 52,11 miliar.
Artinya, koreksi harga saham sebuah perusahaan tidak selalu negatif, ini juga menjadi peluang terhadap lebih murahnya saham emiten tersebut. Apalagi saham BBNI berpotensi menguat ke depannya terutama setelah melewati masa pandemi ini.
Berbagai riset justru melihat ini adalah saat yang tepat untuk mengoleksi saham BBNI, karena memiliki valuasi fundamental yang bagus dan murah. Danareksa Sekuritas memproyeksikan PBV BBNI tahun ini 0,9 kali, dan CGS-CIMB Sekuritas memproyeksikan PBV 0,85 kali.
Price to Book Value (PBV) adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi rendah alias undervalue.
Jika melihat kinerja Bank BNI sepanjang 2019, laba bersih perusahaan tercatat naik 2,5% menjadi Rp 15,38 triliun dibandingkan 2018 senilai Rp 15,02 triliun. Pertumbuhan laba bersih perusahaan ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) yang mencapai 3,3%, dari Rp 35,45 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp 36,6 triliun pada tahun 2019.
Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit BNI tumbuh mencapai 8,6%. Penyaluran kredit yang tumbuh nyaris mencapai dua digit tersebut diimbangi oleh marjin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang relatif tinggi. Pada tahun lalu, NIM dari BNI berada di level 4,9%.
Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Analis Danareksa Sekuritas Eka Savitri dalam risetnya mengatakan kinerja BBNI berpotensi tumbuh yang ditopang oleh peningkatan NIM menjadi 5%, dan menurunkan cost of fund (CoF) menjadi 3%. Penyaluran kredit BNI pun diperkirakan bisa tumbuh 8,1% pada 2020, dengan NPL yang tetap rendah yakni 2,7%.
Dengan begitu, laba bersihBNI 2020diproyeksi bisa mencapai Rp 15,59 triliun, dan total asetdiproyeksi mencapai Rp 878,62 triliun.
Sementara riset CGS-CIMB Sekuritas memproyeksikan tahun ini Return of equity (ROE) BBNI bisa mencapai 13%, dan bisa mencapai 14% pada 2021. Selain itu laba bersih perusahaan diproyeksi mencapai Rp 15,54 triliun.
Peningkatan ini diproyeksi oleh pertumbuhan penyaluran kredit sekitar 10-12%, meski diproyeksikan peningkatan biaya kredit. Hal tersebut sebagai antisipasi dampak dari COVID-19 terhadap kualitas aset dan pertumbuhan kredit.
Dari sisi permodalan, BNI bisa dikatakan semakin mumpuni. Di dunia perbankan, terdapat istilah yang dikenal sebagai rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). CAR sendiri menggambarkan modal bank jika dibandingkan dengan risiko yang ditanggungnya.
Semakin tinggi CAR, maka permodalan sebuah bank bisa dikatakan semakin mumpuni. Pada tahun 2019, CAR dari BNI berada di level 19,7%, naik dari posisi pada tahun 2018 yang sebesar 18,5%. CAR yang mencapai 19,7% tersebut merupakan CAR tertinggi setidaknya dalam empat tahun terakhir.
Berdasarkan riset CLSA, Bank BNI juga menjanjikan terutama karena arah strategi dan kinerjanya untuk rebound tahun ini. Bank pelat merah ini diperkirakan bisa mencetak NIM stabil 4,9%, dengan target di kisaran 4,9-5,1%. Laba bersih BBNI diproyeksi bisa melesat menjadi Rp 17,13 triliun.
Demi menjaga NIM tetap berada di level yang tinggi juga didukung oleh proyeksi rasio Current Account Savings Account (CASA) yang tetap stabil di posisi 66,6%. BNI juga fokus meningkatkan pendanaan berbiaya rendah, terutama dengan peningkatan simpanan dengan digitalisasi dan pengembangan ekosistem.
Selain itu dengan LDR di posisi 91,5%, perusahaan memiliki ruang pertumbuhan kredit yang cukup luas, dengan NPL yang diproyeksi di kisaran 2,1%.
(dob/dob) Next Article Kinerja Cemerlang, BNI Terus Didorong Go Internasional
Hal ini juga berlaku bagi industri perbankan menjadi penuh tantangan, dan membuat harga saham bank berguguran. Meski demikian, ini juga menjadi saat yang tepat bagi investor untuk mengoleksi saham perbankan, meski tertekan tapi masih tumbuh menjanjikan.
Salah satu saham bank yang dilirik yakni saham bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Pada akhir perdagangan Senin (30/03/2020), harga saham BBNI ditutup Rp 3.720/ saham, melemah 6,77% dibandingkan penutupan sebelumnya yang menguat di posisi 3.990 pada Jumat (27/03/2020).
Artinya, koreksi harga saham sebuah perusahaan tidak selalu negatif, ini juga menjadi peluang terhadap lebih murahnya saham emiten tersebut. Apalagi saham BBNI berpotensi menguat ke depannya terutama setelah melewati masa pandemi ini.
Berbagai riset justru melihat ini adalah saat yang tepat untuk mengoleksi saham BBNI, karena memiliki valuasi fundamental yang bagus dan murah. Danareksa Sekuritas memproyeksikan PBV BBNI tahun ini 0,9 kali, dan CGS-CIMB Sekuritas memproyeksikan PBV 0,85 kali.
Price to Book Value (PBV) adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi rendah alias undervalue.
Jika melihat kinerja Bank BNI sepanjang 2019, laba bersih perusahaan tercatat naik 2,5% menjadi Rp 15,38 triliun dibandingkan 2018 senilai Rp 15,02 triliun. Pertumbuhan laba bersih perusahaan ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) yang mencapai 3,3%, dari Rp 35,45 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp 36,6 triliun pada tahun 2019.
Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit BNI tumbuh mencapai 8,6%. Penyaluran kredit yang tumbuh nyaris mencapai dua digit tersebut diimbangi oleh marjin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang relatif tinggi. Pada tahun lalu, NIM dari BNI berada di level 4,9%.
Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Analis Danareksa Sekuritas Eka Savitri dalam risetnya mengatakan kinerja BBNI berpotensi tumbuh yang ditopang oleh peningkatan NIM menjadi 5%, dan menurunkan cost of fund (CoF) menjadi 3%. Penyaluran kredit BNI pun diperkirakan bisa tumbuh 8,1% pada 2020, dengan NPL yang tetap rendah yakni 2,7%.
Dengan begitu, laba bersihBNI 2020diproyeksi bisa mencapai Rp 15,59 triliun, dan total asetdiproyeksi mencapai Rp 878,62 triliun.
Sementara riset CGS-CIMB Sekuritas memproyeksikan tahun ini Return of equity (ROE) BBNI bisa mencapai 13%, dan bisa mencapai 14% pada 2021. Selain itu laba bersih perusahaan diproyeksi mencapai Rp 15,54 triliun.
Peningkatan ini diproyeksi oleh pertumbuhan penyaluran kredit sekitar 10-12%, meski diproyeksikan peningkatan biaya kredit. Hal tersebut sebagai antisipasi dampak dari COVID-19 terhadap kualitas aset dan pertumbuhan kredit.
Dari sisi permodalan, BNI bisa dikatakan semakin mumpuni. Di dunia perbankan, terdapat istilah yang dikenal sebagai rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). CAR sendiri menggambarkan modal bank jika dibandingkan dengan risiko yang ditanggungnya.
Semakin tinggi CAR, maka permodalan sebuah bank bisa dikatakan semakin mumpuni. Pada tahun 2019, CAR dari BNI berada di level 19,7%, naik dari posisi pada tahun 2018 yang sebesar 18,5%. CAR yang mencapai 19,7% tersebut merupakan CAR tertinggi setidaknya dalam empat tahun terakhir.
Berdasarkan riset CLSA, Bank BNI juga menjanjikan terutama karena arah strategi dan kinerjanya untuk rebound tahun ini. Bank pelat merah ini diperkirakan bisa mencetak NIM stabil 4,9%, dengan target di kisaran 4,9-5,1%. Laba bersih BBNI diproyeksi bisa melesat menjadi Rp 17,13 triliun.
Demi menjaga NIM tetap berada di level yang tinggi juga didukung oleh proyeksi rasio Current Account Savings Account (CASA) yang tetap stabil di posisi 66,6%. BNI juga fokus meningkatkan pendanaan berbiaya rendah, terutama dengan peningkatan simpanan dengan digitalisasi dan pengembangan ekosistem.
Selain itu dengan LDR di posisi 91,5%, perusahaan memiliki ruang pertumbuhan kredit yang cukup luas, dengan NPL yang diproyeksi di kisaran 2,1%.
(dob/dob) Next Article Kinerja Cemerlang, BNI Terus Didorong Go Internasional
Most Popular