
Apa Salahmu, Rupiah? Kok Melemah Terus?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 March 2020 08:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah terus mengalami tekanan dan belum juga berakhir. Apa penyebabnya?
Pada Senin (23/3/2020), US$ 1 dihargai Rp 15.950 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah 7,87% di hadapan dolar AS. Sementara dalam sebulan terakhir, rupiah anjlok 16,06% dan secara year-to-date (YtD) depresiasi rupiah mencapai 14,55%. Angka-angka luar biasa ini menunjukkan betapa dalam luka mata uang Tanah Air.
Rupiah memang tertekan luar-dalam. Dari sisi eksternal, rupiah merasakan dampak penurunan risk appetite investor global akibat penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 07:13 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 335.927 sementara korban jiwa tercatat 14.632. Virus corona yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, kini sudah hinggap di lebih dari 180 negara.
Agar penyebaran tidak meluas, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Pemerintah dan berbagai kalangan mengampanyekan gerakan bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah agar gerak virus corona menjadi terbatas.
Sejumlah negara bahkan sudah melakukan hal yang lebih ekstrem yaitu karantina wilayah (lockdown). Tidak boleh ada warga yang pergi ke luar negeri, dan pendatang dari negara lain tidak boleh masuk. Ketika lockdown, warga benar-benar tidak boleh boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang amat sangat mendesak sekali banget.
Kebijakan work from home apalagi lockdown membuat aktivitas publik menjadi terbatas. Memang nyawa adalah prioritas pertama dan paling utama. Namun tidak bisa dipungkiri keterbatasan aktivitas masyarakat membuat roda perekonomian berjalan lambat, bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Situasi ini juga terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 dari 5-5,5% menjadi 4,2-4,6%. Bahkan pemerintah punya skenario terburuk ekonomi Indonesia stagnan alias tidak tumbuh alias 0%.
Artinya, pelambatan ekonomi bukan lagi soal terjadi atau tidak tetapi seberapa dalam. Ini yang membuat investor ogah mendekati aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Situasi saat ini memang sedang tidak mendukung untuk mengambil risiko. Bahkan obligasi pemerintah di Asia yang menawarkan imbalan tinggi juga tidak menarik," ujar Pan Jingyi, Market Strategist di IG Asia, seperti dikutip dari Reuters.
Pada Senin (23/3/2020), US$ 1 dihargai Rp 15.950 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah 7,87% di hadapan dolar AS. Sementara dalam sebulan terakhir, rupiah anjlok 16,06% dan secara year-to-date (YtD) depresiasi rupiah mencapai 14,55%. Angka-angka luar biasa ini menunjukkan betapa dalam luka mata uang Tanah Air.
Rupiah memang tertekan luar-dalam. Dari sisi eksternal, rupiah merasakan dampak penurunan risk appetite investor global akibat penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 07:13 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 335.927 sementara korban jiwa tercatat 14.632. Virus corona yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, kini sudah hinggap di lebih dari 180 negara.
Agar penyebaran tidak meluas, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Pemerintah dan berbagai kalangan mengampanyekan gerakan bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah agar gerak virus corona menjadi terbatas.
Sejumlah negara bahkan sudah melakukan hal yang lebih ekstrem yaitu karantina wilayah (lockdown). Tidak boleh ada warga yang pergi ke luar negeri, dan pendatang dari negara lain tidak boleh masuk. Ketika lockdown, warga benar-benar tidak boleh boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang amat sangat mendesak sekali banget.
Kebijakan work from home apalagi lockdown membuat aktivitas publik menjadi terbatas. Memang nyawa adalah prioritas pertama dan paling utama. Namun tidak bisa dipungkiri keterbatasan aktivitas masyarakat membuat roda perekonomian berjalan lambat, bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Situasi ini juga terjadi di Indonesia. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 dari 5-5,5% menjadi 4,2-4,6%. Bahkan pemerintah punya skenario terburuk ekonomi Indonesia stagnan alias tidak tumbuh alias 0%.
Artinya, pelambatan ekonomi bukan lagi soal terjadi atau tidak tetapi seberapa dalam. Ini yang membuat investor ogah mendekati aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Situasi saat ini memang sedang tidak mendukung untuk mengambil risiko. Bahkan obligasi pemerintah di Asia yang menawarkan imbalan tinggi juga tidak menarik," ujar Pan Jingyi, Market Strategist di IG Asia, seperti dikutip dari Reuters.
Next Page
Indonesia 'Ketatagihan' Hot Money
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular