Harga Minyak Naik, Tapi Masih di Bawah US$ 30/Barel

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 March 2020 11:14
Harga minyak naik tapi masih rapuh dan sekarang berada di bawah level US$ 30/barel.
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah kontrak menguat pada perdagangan hari ini setelah kemarin ditutup melemah. Namun kenaikan harga minyak ini belum mencerminkan perbaikan dari sisi fundamentalnya, alias masih ringkih.

Pada perdagangan Rabu (18/3/2020) pukul 11.10 WIB harga minyak mentah kontrak berjangka Brent naik 1,15% ke level US$ 29,06/barel sementara minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate naik 0,41% ke level US$ 27,06/barel.

Harga minyak kini sudah berada di bawah level US$ 30/barel. Ini sudah mengkhawatirkan. Namun mau bagaimana lagi outlook sektor perminyakan masih suram lantaran merebaknya pandemi COVID-19 dan perang harga antara Arab Saudi dengan Rusia.

Wabah COVID-19 kini telah merebak ke 152 negara. Nyaris 200 ribu orang terinfeksi virus ganas ini. Angka tingkat kematian sementaranya juga naik menjadi 4% padahal sebelumnya hanya di kisaran 3%.

Saat China melaporkan jumlah kasus baru sudah turun signifikan, lonjakan jumlah kasus justru terjadi di luar China. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan total kasus kumulatif infeksi COVID-19 di luar China sudah menyalip jumlah kasus di China.

Dalam dua hari terakhir pertambahan jumlah kasus per harinya lebih dari 10.000 kasus. Kini total kasus di luar China sudah mencapai lebih dari 100 ribu. Ini yang jadi penyebab harga minyak makin anjlok kemarin.

Dengan semakin merebaknya pandemi, permintaan minyak bisa jatuh. Indikatornya sudah terlihat. Biro Perdagangan Jepang mengumumkan, impor minyak mentah Negeri Sakura pada bulan Februari 2020 anjlok 9% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Menambah beban harga minyak, ada perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Hubungan keduanya diwarnai ketegangan setelah Rusia menolak usulan Arab untuk memangkas produksi minyak lebih dalam demi menstabilkan pasar.

Penolakan tersebut membuat OPEC+ gagal capai kata sepakat dan kongsi yang sudah dibentuk tiga tahun tersebut sekarang menghadapi masalah yang kompleks akibat berbeda pendapat.

Arab Saudi yang geram lantas langsung mengambil manuver dengan berencana meningkatkan produksi minyaknya pada April nanti serta mendiskon harga minyak ekspornya sebesar 10%.

Sudah permintaan merosot, pasar malah dibanjiri dengan pasokan. Ini yang membuat harga minyak anjlok. Arab Saudi bisa saja masih untung dengan harga minyak yang sudah di bawah US$ 30 barel karena ongkos produksinya yang murah. Namun tidak dengan negara OPEC lain dan Rusia yang ongkos produksinya lebih mahal.

Perlu diketahui bersama menurut Kosatka, total ongkos produksi minyak Arab Saudi mencapai US$ 8,98/barel. Sementara, total ongkos produksi minyak Rusia sebesar US$ 19,7/barel. Artinya anjloknya harga minyak membuat aktivitas pengeboran menjadi kecil nilai ekonomisnya dan tentu hal ini menggerus marjin.

Saat ini, menteri perminyakan Irak, Thamer al-Gadhban tengah meminta anggota OPEC lain untuk segera mengadakan rapat dengan OPEC+ membahas berbagai kemungkinan cara untuk menstabilkan pasar.

Fitch dalam sebuah catatan menjelaskan bahwa permintaan minyak kemungkinan akan mulai pulih pada semester II tahun kala dampak COVID-19 mulai pudar dan ekonomi kembali bergeliat.

Namun anjloknya harga minyak dan penyebaran virus telah membuat risiko resesi global meningkat. Hal ini membuat Fitch merevisi turun harga minyak dari yang sebelumnya diramal di rata-rata US$ 62/barel menjadi US$ 43/barel pada 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article April, Saudi Aramco Genjot Produksi Minyak 12,3 Juta bph

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular