Negeri K-Pop Darurat Corona, Picu Rupiah Keok Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 February 2020 08:33
pembacaan awal PDB Korsel sepanjang tahun 2019 sebesar 2%, menjadi yang terendah dalam 10 tahun terakhir.
Foto: Presiden Korea Selatan Moon Jae in menggelar preskon di kompleks pemerintah di pusat kota Seoul, Korea Selatan, Minggu, 23 Februari 2020. Presiden Korea Selatan telah menempatkan negara itu dalam siaga tertinggi untuk penyakit menular dan mengatakan para pejabat harus mengambil langkah untuk memerangi wabah virus. (Lee Jin-wook/Yonhap via AP)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (24/2/2020) akibat memburuknya sentimen pelaku pasar setelah wabah virus corona atau Covid-19 melonjak di Korea Selatan.

Rupiah melemah tipis 0,07% ke Rp 13.770/US$ pada pembukaan perdagangan pasar spot, melansir data Refinitiv, merespons perkembangan wabah virus corona tersebut. Ini semakin memperjelas, mata rantai ekonomi dunia bisa terganggu karena perkembangan virus tersebut.

Sepanjang pekan lalu rupiah membukukan pelemahan sebesar 0,66% ke Rp 13.760/US$, penyebabnya sama, kecemasan pelaku pasar akan wabah Covid-19 yang berisiko membuat ekonomi China melambat dan membawa beberapa negara memasuki resesi.

Tetapi jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, pelemahan rupiah tersebut patut diapresiasi. Hanya dolar Hong Kong, rupee India, dolar Singapura, dan yuan China yang kinerja lebih baik melawan dolar AS, meski semuanya juga melemah.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang pekan lalu.



Pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) mampu meredam keperkasaan dolar AS, sehingga pelemahan rupiah tidak sebesar mata uang utama Asia lainnya pada pekan lalu. 

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Februari 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (20/2/2020).

Dengan pemangkasan suku bunga tersebut, diharapkan roda perekonomian dalam negeri lebih terpacu untuk meredam efek pelambatan ekonomi China.
Wabah virus corona astau Covid-19 masih menjadi perhatian utama pelaku pasar. Kini tidak hanya China, Korea Selatan juga menjadi sorotan akibat lonjakan kasus Covid-19 dalam beberapa hari terakhir.

Berdasarkan data ArgGis, jumlah korban meninggal akibat Covid-19 sebanyak 2,469 orang dan menjangkiti 78.985 orang. Dari total tersebut, sebanyak 76.938 kasus terjadi di China yang merupakan asal virus corona, sementara di Korsel kini tercatat 602 kasus, jumlah tersebut naik nyaris dua kali lipat dibandingkan Sabtu pekan lalu. Korsel kini menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak kedua setelah China.

Akibatnya perekonomian Negeri K-Pop ini diprediksi akan melambat di tahun ini. Pembacaan awal produk domestik bruto (PDB) Korsel kuartal IV-2019 sebesar 2,2% year-on-year. Sementara pembacaan awal PDB sepanjang tahun 2019 sebesar 2%, menjadi yang terendah dalam 10 tahun terakhir.



Kepala riset Standard Chartered di Seoul, Park Chong-hoon, mengatakan dengan perkembangan saat ini, bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi Korsel lebih rendah dari tahun lalu 2%.

"Ekonomi Korea Selatan kehilangan momentum lagi, saat mulai melakukan pemulihan. Sentimen memburuk karena pelambatan ekonomi China mempengaruhi ekspor dan pendapatan wisata secara negatif" kata Park, sebagaimana dilansir Financial Times.

Korsel merupakan salah satu mitra dagang terbesar RI, sehingga pelambatan yang terjadi akan memberikan dampak ke ekspor-impor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Januari ekspor non-migas RI ke Korsel tercatat sebesar US$ 476,2 juta turun 10,75% dari bulan sebelumnya. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 3,78% terhadap total ekspor non-migas RI.

Sementara itu dari sisi impor non-migas, pada bulan Januari tercatat sebesar US$ 640 juta naik 15,32%. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 5,21% dari total impor non-migas RI, dan menjadi yang terbesar ke-empat setelah China, Jepang, dan Singapura.

Dengan ekonomi yang diprediksi melambat lagi di bawah 2%, ada risiko ekspor Indonesia ke Negeri Gingseng akan semakin merosot, yang bisa membebani neraca dagang Indonesia ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular