Pak Jokowi, Tarik Ulur Kontrak Batu Bara Telah Memakan Korban

Donald Banjarnahor, CNBC Indonesia
21 February 2020 13:04
Tarik ulur Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang belum jelas hingga saat ini telah memakan korban.
Foto: Wahyu Daniel
Jakarta, CNBC Indonesia- Tarik ulur Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang belum jelas hingga saat ini telah memakan korban.

Harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun ke level terendah, yakni Rp 50 pada Kamis (20/2/2020) karena salah satu anak usahanya, yakni PT Arutmin Indonesia belum mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak. Padahal kontrak pertambangan Arutmin akan habis pada 1 November 2020 mendatang.

Sejak awal tahun harga saham emiten dengan produksi terbesar ini telah anjlok 24,24%, sementara sejak 1 tahun terakhir telah jatuh 69,32%. Meski BUMI merupakan perusahaan batu bara dengan pembayaran royalti dan pajak terbesar, namun pemerintah juga belum memberikan kepastian soal perpanjang izin yang sudah ajukan sejak tahun lalu.

Sebelumnya, Dirjen Mineral dan Batu Bara ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan pihaknya hingga kini masih mengevaluasi soal nasib dari PKP2B yang akan segera habis kontraknya.


"Itu juga masih dievaluasi dan belum ada lagi (selain Arutmin)," ungkapnya, Selasa, (12/02/2020).

Dirinya menyebut evaluasi yang dilakukan menyangkut berbagai aspek. Sayangnya Bambang tidak mau menyebut apakah nasib kontrak tambang menunggu revisi Undang - Undang Minerba. Bambang hanya menekankan akan terus melakukan evaluasi.

"Ya semua aspek lah, aspeknya apa saja ya aspek pengusahaanya apa saja dievaluasi. Lihat saja kita sambil jalan kan evaluasi terus," imbuhnya.

Polemik PKP2B berawal dari UU Minerba mengatur luas wilayah izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) 15.000 hektar. Bila hal ini diterapkan maka seluruh kontrak tambang harus melepas sebagian konsensi hingga maksimal 15.000 hektar.

Namun dalam RPP tentang perubahan keenam atas PP Nomor 23 Tahun 2010 Pasal 112 disebutkan PKP2B bisa memiliki wilayah sesuai dengan rencana kerja mereka yang telah disetujui menteri sampai berakhirnya masa kontrak. Artinya, luas wilayah bisa lebih dari 15.000 hektar.

Persoalan ini rencananya akan dibahas dalam Revisi UU Minerba, meskipun ada kemungkinan juga masuk dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan adanya kontrak karya generasi 1, maka revisi UU Minerba dibutuhkan. Menurutnya tujuannya untuk memayungi segala keputusan itu karena menurut UU No. 4 tahun 2009 itu ada rezim berganti dari KK jadi IUP dengan sejumlah ketentuan. Sugeng mencontohkan di dalam IUP ada luasan wilayah yang dibatasi, hanya saja untuk IUP yang baru.

"Bagaimana dengan PKP2B yang habis? Kan ada perpanjangan otomatis 2x10 tahun, luasnya memang belum diatur untuk pertambangan yang sudah habis. Yang dibatasi 15.000 ha itu kan IUP baru di batu bara. Inilah yang akan jadi bahasan kita, sebab harus ada kepastian hukum, kepastian usaha," ungkapnya.


Sugeng menargetkan revisi ini akan selesai Agustus mendatang. Dirinya membenarkan ada PKP2B yang akan segera habis kontraknya bahkan di bulan November tahun ini. "Tapi bukan kejar itu, kita mau berikan kepastian usaha. Jadi jangan kalian bilang ini untuk PKP2B. Tidak juga, UU ini kan sudah lama," terangnya.

[Gambas:Video CNBC]





(dob/dob) Next Article Penjualan Batu Bara BUMI Capai 78,7 Juta Ton di 2023

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular