Dolar AS Super Perkasa, BI 'Bantu' Rupiah Tak Jadi Terburuk

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 February 2020 17:58
Dolar AS Super Perkasa, BI 'Bantu' Rupiah Tak Jadi Terburuk
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (20/2/2020).

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,07% ke Rp 13.690/US$. Depresiasi rupiah semakin menjadi-jadi hingga 0,66% ke Rp 13.770/US$. Dengan pelemahan sebesar itu, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia siang tadi.

Rupiah perlahan memangkas pelemahan setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan kebijakan moneter. Di akhir perdagangan rupiah masih di zona merah, tetapi membaik dengan pelemahan 0,15% di Rp 13.700/US$.

Dolar AS super perkasa pada hari ini, semua mata uang utama Asia dibuat melemah, termasuk yen yang menyandang status aset aman (safe haven).

Hingga pukul 16:10 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,99%, disusul baht Thailand sebesar 0,74%. Rupiah meski melemah pada hari ini tetapi masih menjadi yang terbaik ketiga setelah peso Filipina dan rupee India yang melemah tipis 0,02% dan 0,05%.



Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.



Dolar AS menjadi super perkasa berkat serangkaian data ekonomi dari Negeri Paman Sam yang bagus membuat indeks dolar menguat nyaris ke level tertinggi 3 tahun. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini mencapai level 99,85 hari ini, yang menjadi titik tertinggi sejak 11 Mei 2017.

Sejak awal bulan ini data ekonomi AS memang dirilis cukup bagus yang membuat dolar AS perkasa. Pada pekan lalu Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.

Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.

Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.



Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen naik 0,5% month-on-month (MoM) di bulan Januari, jauh lebih tinggi dari kenaikan bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters sebesar 0,1%, Sementara itu indeks harga produsen inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, juga naik 0,5% MoM, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters 0,2%.

Rilis tersebut memberikan gambaran inflasi yang dilihat dari indeks harga konsumen akan berpeluang naik. Data tersebut melengkapi serangkaian data cukup bagus yang dirilis sejak awal bulan.

Serangkaian data tersebut tentunya memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun menjadi perkasa.

Selain itu, wabah virus corona atau Covid-19 yang berisiko memicu resesi di beberapa negara turut meningkatkan permintaan dolar AS sebagai aset aman (safe haven).

Covid-19 diprediksi membuat perekonomian China melambat dan tentunya akan menyeret negara-negara lain yang memiliki hubungan dagang dengan Negeri Tiongkok. Sejauh ini ada tiga negara yang terancam mengalami resesi, yakni Singapura, Jerman dan Jepang.

Pemerintah Singapura di awal pekan ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.

Setelah Singapura, Jerman juga sudah waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.

Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.

Buruknya data ekonomi Jepang tersebut membuat pelaku pasar lebih memilih dolar AS ketimbang yen meski sama-sama menyandang status safe haven. Akibatnya dolar menjadi tambah perkasa dan terus menekan rupiah.

[Gambas:Video CNBC]

Pagi tadi bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) menurunkan suku bunga acuan kredit perbankan (Loan Prime Rate/LPR) yang membuat bursa saham Asia menguat, dan membuat harga emas terkoreksi. 

Untuk LPR tenor setahun turun dari 4,15% menjadi 4,05%, sementara lima tahun turun dari 4,8% menjadi 4,75%.

Di awal pekan PBoC juga menurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.



Bukan di pekan ini saja China bertindak, di awal bulan lalu PBoC sudah menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari i menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.

Stimulus yang diberikan PBoC diharapkan mampu meredam dampak wabah cirus corona ke perekonomian, sehingga sentimen pelaku pasar membaik dan kembali masuk ke aset berisko meski juga masih berhati-hati melihat perkembangan wabah virus corona yang diprediksi membuat ekonomi China melambat. 




Kemudian pada siang hari, BI memangkas suku bunga 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. 

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Februari 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (20/2/2020).

Dengan pemangkasan suku bunga tersebut, diharapkan roda perekonomian dalam negeri lebih terpacu untuk meminimalisir efek pelambatan ekonomi China. BI menilai dampak penyebaran virus Corona bersifat V-Shape, artinya penurunan akan terjadi dengan cepat, tetapi pemulihan juga memakan waktu tidak lama.

Setelah BI memangkas suku bunga, rupiah perlahan mampu memangkas pelemahan, dan tidak menjadi yang terburuk di Asia.

 
TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]





(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular