
Waspada Corona, Hawa-Hawanya IHSG Bisa Turun Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tertekan pada perdagangan Kamis (13/2/2020) kemarin dengan mengalami penurunan 41 poin atau -0,7% ke level 5.871, level terendah sejak pertengahan bulan Mei 2019.
Memasuki perdagangan hari ini Jumat (14/2/2020), Tim Riset CNBC Indonesia memperkirakan IHSG akan kembali melemah rentang perdagangannya berada di 5.825 hingga 5.900.
Secara teknikal, IHSG kembali meneruskan tren penurunannya (downtrend) setelah menembus level penahan penurunannya (breakout support) yang berada di level 5.877.
Tekanan dalam jangka pendek terlihat dari posisinya yang masih bergerak di bawah rata-ratanya dalam lima hari terakhir (moving average/MA5). Terbentuknya pola lilin hitam (dark candle) juga menggambarkan bahwa IHSG masih diselimuti tekanan.
![]() |
Dari bursa Amerika Serikat (AS), tiga indeks saham utama ditutup melemah. Dow Jones (DJIA) turun 0,43% ke level 29.423, S&P 500 masih melemah 0,16% pada level 3.373 dan Nasdaq juga catatkan pelemahan 0,14% ke level 9.711.
Wall Street terpelanting pada perdagangan Kamis (13/2/2020) menyusul lonjakan kasus corona dalam skala yang di luar dugaan, hingga memicu ketidakpastian dan kekhawatiran seputar efek negatifnya terhadap perekonomian.
China melaporkan adanya 15.152 kasus baru virus Corona, dengan korban jiwa tambahan sebanyak 254 orang. Total, angka kematian akibat virus asal Wuhan tersebut mencapai 1.367 orang dan nyaris 60.000 orang terinfeksi.
Dalam penjelasannya, otoritas China mengatakan kenaikan itu terkait dengan perubahan tabulasi jumlah penderita virus corona. Kini semua individu yang secara 'klinis terdiagnosis' sudah dimasukkan ke dalam kategori 'terkonfirmasi'.
Hal ini mengundang sikap skeptis seputar kredibilitas pelaporan data korban oleh pemerintah China. Dikutip CNBC International, seorang sumber anonim di pemerintah AS mengatakan bahwa Gedung Putih "tidak memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap informasi yang keluar dari China." Apalagi Beijing, lanjut dia, terus menolak bantuan AS.
"Reakselerasi tajam infeksi korona yang tiba-tiba di China membuat investor mengukur ulang risiko mereka," tutur Alec Young, Managing Director FTSE Russell, sebagaimana dikutip CNBC International.
Menurut dia, China dan perusahaan yang terkait dengan perjalanan menjadi yang paling rentan kena imbas ekonomi. Namun, selama dampak terhadap ekonomi AS masih terbatas maka bursa saham akan relatif kebal. Sebaliknya jika AS tertembus, maka volatilitas akan naik signifikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!