
Rupiah Melemah Lagi, tapi Tak Terlalu Buruk Lah...
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 January 2020 18:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (30/1/2020) setelah menghentikan pelemahan dua hari beruntun Rabu kemarin.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,07% ke level Rp 13.630/US$. Depresiasi Mata Uang Garuda semakin besar hingga 0,35% ke level Rp 13.667/US$, yang menjadi level terlemah bagi hari ini. Di akhir perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga tersisa 0,15% ke Rp 13.640/US$ melansir data Refinitiv.
Mayoritas mata uang utama Asia memang kembali melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:37 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 0,74% disusul dolar Taiwan sebesar 0,49%. Baht Thailand menempati urutan ketiga terburuk dengan pelemahan 0,39%.
Melihat pergerakan tersebut, pelemahan rupiah sebesar 0,15% bisa dikatakan tidak terlalu buruk. Apalagi jika melihat sejak awal tahun hingga Rabu kemarin Mata Uang Garuda sudah menguat 1,88% dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang Benua Kuning pada hari ini.
Virus Corona masih menjadi isu utama pasar hari ini. Virus yang berasal dari kota Wuhan tersebut diprediksi berdampak buruk terhadap perekonomian China memberikan sentimen negatif ke pasar, dan menekan rupiah.
Jumlah korban meninggal maupun yang terjangkit virus corona masih terus bertambah. Mengutip CNBC International, di China sebanyak 170 orang meninggal dan 7.700 lainya terjangkiti.
Jumlah kasus ini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus. Dampaknya ke perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut juga diprediksi lebih signifikan.
"Kami percaya dampak ekonomi dari virus corona akan lebih besar jika dibandingkan dengan SARS" kata analis dari Nomura, sebagaimana dilansir CNBC International. Menurut Nomura, saat terjadi SARS produk domestic bruto (PDB) China turun 2% di kuartal II-2003 dari kuartal sebelumnya.
"Berdasarkan asumsi kami, pertumbuhan PDB riil China di kuartal I-2020 bisa turun dari 6% yang dicatat pada kuartal IV-2019, dalam skala kemungkinan penurunannya lebih besar dari 2% yang dibukukan saat wabah SARS 2003" tambahnya.
Meski demikian analis dari Nomura tersebut menyakini pelambatan tersebut hanya sementara. Selain Nomura, hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut mengingat posisinya sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Pelambatan ekonomi global akan membuat sentimen pelaku pasar memburuk, dan tentunya memberikan dampak negatif bagi rupiah.
Di sisi lain, rupiah mendapat sentimen positif dari kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Dini hari tadi, The Fed mengumumkan suku bunga tetap ditahan 1,5-1,75% di tahun ini, agar mencapai target inflasi 2%.
Selain itu, The Fed juga masih mempertahankan program repurchase agreement (repo) senilai US$ 60 miliar per bulan, guna menambah likuiditas di pasar. Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan program repo baru akan dikurangi sekitar bulan April sampai Juni.
Program tersebut sudah dilakukan sejak September 2019, dan sejak saat itu indeks dolar mengalami penurunan, yang menjadi salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun melawan dolar AS.
Tanpa perubahan kebijakan dari The Fed, yang artinya The Fed masih akan membanjiri likuiditas di pasar, rupiah mampu memangkas pelemahan, meski belum cukup untuk berbalik menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,07% ke level Rp 13.630/US$. Depresiasi Mata Uang Garuda semakin besar hingga 0,35% ke level Rp 13.667/US$, yang menjadi level terlemah bagi hari ini. Di akhir perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga tersisa 0,15% ke Rp 13.640/US$ melansir data Refinitiv.
Mayoritas mata uang utama Asia memang kembali melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:37 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 0,74% disusul dolar Taiwan sebesar 0,49%. Baht Thailand menempati urutan ketiga terburuk dengan pelemahan 0,39%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang Benua Kuning pada hari ini.
Virus Corona masih menjadi isu utama pasar hari ini. Virus yang berasal dari kota Wuhan tersebut diprediksi berdampak buruk terhadap perekonomian China memberikan sentimen negatif ke pasar, dan menekan rupiah.
Jumlah korban meninggal maupun yang terjangkit virus corona masih terus bertambah. Mengutip CNBC International, di China sebanyak 170 orang meninggal dan 7.700 lainya terjangkiti.
Jumlah kasus ini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus. Dampaknya ke perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut juga diprediksi lebih signifikan.
"Kami percaya dampak ekonomi dari virus corona akan lebih besar jika dibandingkan dengan SARS" kata analis dari Nomura, sebagaimana dilansir CNBC International. Menurut Nomura, saat terjadi SARS produk domestic bruto (PDB) China turun 2% di kuartal II-2003 dari kuartal sebelumnya.
"Berdasarkan asumsi kami, pertumbuhan PDB riil China di kuartal I-2020 bisa turun dari 6% yang dicatat pada kuartal IV-2019, dalam skala kemungkinan penurunannya lebih besar dari 2% yang dibukukan saat wabah SARS 2003" tambahnya.
Meski demikian analis dari Nomura tersebut menyakini pelambatan tersebut hanya sementara. Selain Nomura, hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut mengingat posisinya sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Pelambatan ekonomi global akan membuat sentimen pelaku pasar memburuk, dan tentunya memberikan dampak negatif bagi rupiah.
Di sisi lain, rupiah mendapat sentimen positif dari kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Dini hari tadi, The Fed mengumumkan suku bunga tetap ditahan 1,5-1,75% di tahun ini, agar mencapai target inflasi 2%.
Selain itu, The Fed juga masih mempertahankan program repurchase agreement (repo) senilai US$ 60 miliar per bulan, guna menambah likuiditas di pasar. Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan program repo baru akan dikurangi sekitar bulan April sampai Juni.
Program tersebut sudah dilakukan sejak September 2019, dan sejak saat itu indeks dolar mengalami penurunan, yang menjadi salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun melawan dolar AS.
Tanpa perubahan kebijakan dari The Fed, yang artinya The Fed masih akan membanjiri likuiditas di pasar, rupiah mampu memangkas pelemahan, meski belum cukup untuk berbalik menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular