
Utang Jumbo KRAS yang Tanpa Hasil & Realitas Industri Baja RI
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 January 2020 19:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) mengumumkan restrukturisasi utang terbesar yang pernah ada di Indonesia yang nilainya mencapai Rp 27,22 triliun. Restrukturisasi ini dimaksudkan untuk menyehatkan kembali keuangan KRAS yang sudah sejak lama bermasalah.
"Melalui restrukturisasi ini, total beban selama sembilan bulan tahun utang dapat diturunkan secara signifikan dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Selain itu, penghematan biaya juga kita dapatkan dari restrukturisasi Krakatau Steel utang selama sembilan tahun sebesar US$ 685 juta," kata Direktur Utama Silmy Karim, dalam siaran pers, Selasa (28/1/2020).
Restrukturisasi utang KS tersebut ditetapkan dengan tenor 9 tahun. Ini membuat beban keuangan KRAS berkurang setelah proses restrukturisasi tersebut. "Profil utangnya terjadi penurunan signifikan dari US$ 2,2 miliar sampai 2027 karena lamanya 9 tahun.
Kemudian penghematannya yang dilakukan dari 9 tahun itu beban bunga turun dari US$ 480 juta menjadi US$ 270 juta," kata Direktur Utama KRAS Silmy Karim, saat paparan publik di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Pembayaran utang ini dilakukan dalam 4 tranche, tranche A tenor 9 tahun senilai US$ 220 juta, tranche B tenor 3 tahun senilai US$ 735 juta, lalu tranche C1 dengan tenor 9 tahun senilai US$ 789 juta dan trance C2 tenor 9 tahun senilai US$ 262 juta.
Proses restrukturisasi ini telah dilakukan sejak akhir 2018 dan baru bisa diselesaikan di awal 2020 ini. Dengan restrukturisasi utang ini ada skema keringanan tenor pinjaman hingga bunga kredit sehingga beban KS makin ringan. Harapannya jangka panjang bisa melunasi kewajiban-kewajibannya.
Silmy menceritakan, utang ini sebagian besar berasal dari kebutuhan dana untuk menutupi investasi perusahaan di masa lampau. Namun, terjadi mismatch antara investasi dan realisasi yang terjadi, meski investasi besar tapi tak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
"Jadi kalau ditanya utang buat apa, ya satu buat investasi, tetapi investasi tersebut tak menghasilkan tambahan penjualan dan juga keuntungan. Kemudian ada pembayaran utang menggunakan utang. Mismatch lah," kata Silmy.
Dia menjelaskan, utang yang menumpuk tentu saja membuat neraca keuangan perusahaan menjadi makin berat dari tahun ke tahun. Hal yang sama terjadi sejak 10 tahun terakhir. Namun, soal sejak kapan awal akumulasi utang perseroan, Silmy tak menjelaskannya.
Silmy menjelaskan, kebutuhan investasi perusahaan yang dimaksudkan mayoritas berasal dari investasi pembangunan pabrik blast furnace yang disinyalir nilainya mencapai Rp 10 triliun. Namun, sayangnya setelah pembangunan selesai dan mulai beroperasi, manajemen perusahaan memutuskan untuk menghentikan operasi pabrik lantaran biaya operasional yang mahal. Selain itu, terdapat kebutuhan investasi lainnya dengan nilai mencapai kisaran Rp 3 triliun- Rp 5 triliun. "Jadi total itu separuh buat investasi tapi investasinya nggak maksimal nggak sesuai harapan," katanya.
Tekanan finansial sebenarnya sudah dirasakan oleh perseroan sejak lama. Sejak 2012 peerseroan terus mencetak laba setelah pajak yang negatif. Bahkan kerugian terbesar sempat dicatatkan pada 2015 yang mencapai US$ 177 juta.
Bahkan pada 2017 dan 2018, perseroan mengalami permasalahan likuiditas. Hal tersebut tercermin dari nilai rasio lancar dan rasio cepat yang kecil, bahkan di bawah satu. Nilai rasio lancar yang dibawah satu mengindikasikan bahwa working capital perusahaan bernilai negatif. Sehingga restrukturisasi utang perlu dilakukan untuk menyehatkan kembali keuangan perseroan.
Selain tekanan keuangan, KRAS juga menghadapi gempuran baja impor. Pasalnya lonjakan impor baja di Indonesia setiap tahun dalam tren meningkat, pada 2015 impor baja masih 5,2 juta ton, lalu pada 2019 menembus 6,9 juta ton.
Kondisi ini perlahan membunuh industri baja domestik. Dari nilai impor itu 90% berasal dari 5 negara utama, antara lain China, Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Korea. Dalam dokumen Krakatau Steel 2020: Penguatan Industri Baja Domestik, yang diterima CNBC Indonesia, lonjakan baja impor dari China hingga Vietnam menyebabkan utilisasi pabrik hanya ada yang mencapai 35% dari kapasitas seharusnya terutama di industri baja yang memproduksi jenis CRC. Utilisasi pabrik baja jenis wire rod, bar, dan section juga rendah hanya 38% dari kapasitas terpasang.
Catatan The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), setidaknya ada 7 produsen baja dari 218 anggota IISIA di dalam negeri yang menghentikan produksi atau memangkas produksi, yaitu:
• Sarana Central menghentikan lini produksi zinc steel
• Bluescope menurunkan produksi zinc alumunium plywood sampai 50% dari produksi normal
• Tata Metal Lestari, Essar, dan satu pabrik lainnya menurunkan produksi zinc steel sampai 40-50%
• Satu produsen menghentikan beberapa lini produksi wire rod
• Krakatau Steel menghentikan lini produksi wire rod pada akhir 2018. Juga menurunkan produksi section and bar mill sampai 50%.
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim pernah mengatakan pabrik baja yang sudah tutup hingga 7 pabrik. "Industri hilir baja sudah tutup tujuh pabrik, kemudian kita kehilangan demand," kata Silmy di Jakarta, Jumat (13/12).
Jumlah pabrik tutup yang diklaim Silmy lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Direktur Eksekutif IISIA dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu mengklaim 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi saat ini yang kemudian berdampak pada PHK pekerja pabrik baja.
Silmy yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuturkan tekanan yang ada saat ini bisa mengancam KRAS ke depannyan sebab KRAS memproduksi produk baja untuk industri.
Selama ini, baja impor yang masuk ke pasar antara lain jenis HRC, CRC, WR Carbon, Bar Carbon, Bar Alloy, Section Carbon, Carbon Steel, Alloy Steel dan lainnya. Padahal untuk baja jenis HRC dan plat dalam posisi over supply.
Solusinya, utilisasi baja harus ditingkatkan tentunya dengan permintaan ditambah, caranya keran impor harus ditutup. Langkah ini diambil mengingat permintaan baja dalam negeri terus bertambah.
(twg/twg) Next Article KRAS Restrukturisasi Utang di 6 Lembaga Jasa Keuangan
"Melalui restrukturisasi ini, total beban selama sembilan bulan tahun utang dapat diturunkan secara signifikan dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Selain itu, penghematan biaya juga kita dapatkan dari restrukturisasi Krakatau Steel utang selama sembilan tahun sebesar US$ 685 juta," kata Direktur Utama Silmy Karim, dalam siaran pers, Selasa (28/1/2020).
Restrukturisasi utang KS tersebut ditetapkan dengan tenor 9 tahun. Ini membuat beban keuangan KRAS berkurang setelah proses restrukturisasi tersebut. "Profil utangnya terjadi penurunan signifikan dari US$ 2,2 miliar sampai 2027 karena lamanya 9 tahun.
Pembayaran utang ini dilakukan dalam 4 tranche, tranche A tenor 9 tahun senilai US$ 220 juta, tranche B tenor 3 tahun senilai US$ 735 juta, lalu tranche C1 dengan tenor 9 tahun senilai US$ 789 juta dan trance C2 tenor 9 tahun senilai US$ 262 juta.
Proses restrukturisasi ini telah dilakukan sejak akhir 2018 dan baru bisa diselesaikan di awal 2020 ini. Dengan restrukturisasi utang ini ada skema keringanan tenor pinjaman hingga bunga kredit sehingga beban KS makin ringan. Harapannya jangka panjang bisa melunasi kewajiban-kewajibannya.
Silmy menceritakan, utang ini sebagian besar berasal dari kebutuhan dana untuk menutupi investasi perusahaan di masa lampau. Namun, terjadi mismatch antara investasi dan realisasi yang terjadi, meski investasi besar tapi tak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
"Jadi kalau ditanya utang buat apa, ya satu buat investasi, tetapi investasi tersebut tak menghasilkan tambahan penjualan dan juga keuntungan. Kemudian ada pembayaran utang menggunakan utang. Mismatch lah," kata Silmy.
Dia menjelaskan, utang yang menumpuk tentu saja membuat neraca keuangan perusahaan menjadi makin berat dari tahun ke tahun. Hal yang sama terjadi sejak 10 tahun terakhir. Namun, soal sejak kapan awal akumulasi utang perseroan, Silmy tak menjelaskannya.
Silmy menjelaskan, kebutuhan investasi perusahaan yang dimaksudkan mayoritas berasal dari investasi pembangunan pabrik blast furnace yang disinyalir nilainya mencapai Rp 10 triliun. Namun, sayangnya setelah pembangunan selesai dan mulai beroperasi, manajemen perusahaan memutuskan untuk menghentikan operasi pabrik lantaran biaya operasional yang mahal. Selain itu, terdapat kebutuhan investasi lainnya dengan nilai mencapai kisaran Rp 3 triliun- Rp 5 triliun. "Jadi total itu separuh buat investasi tapi investasinya nggak maksimal nggak sesuai harapan," katanya.
Tekanan finansial sebenarnya sudah dirasakan oleh perseroan sejak lama. Sejak 2012 peerseroan terus mencetak laba setelah pajak yang negatif. Bahkan kerugian terbesar sempat dicatatkan pada 2015 yang mencapai US$ 177 juta.
Bahkan pada 2017 dan 2018, perseroan mengalami permasalahan likuiditas. Hal tersebut tercermin dari nilai rasio lancar dan rasio cepat yang kecil, bahkan di bawah satu. Nilai rasio lancar yang dibawah satu mengindikasikan bahwa working capital perusahaan bernilai negatif. Sehingga restrukturisasi utang perlu dilakukan untuk menyehatkan kembali keuangan perseroan.
Selain tekanan keuangan, KRAS juga menghadapi gempuran baja impor. Pasalnya lonjakan impor baja di Indonesia setiap tahun dalam tren meningkat, pada 2015 impor baja masih 5,2 juta ton, lalu pada 2019 menembus 6,9 juta ton.
Kondisi ini perlahan membunuh industri baja domestik. Dari nilai impor itu 90% berasal dari 5 negara utama, antara lain China, Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Korea. Dalam dokumen Krakatau Steel 2020: Penguatan Industri Baja Domestik, yang diterima CNBC Indonesia, lonjakan baja impor dari China hingga Vietnam menyebabkan utilisasi pabrik hanya ada yang mencapai 35% dari kapasitas seharusnya terutama di industri baja yang memproduksi jenis CRC. Utilisasi pabrik baja jenis wire rod, bar, dan section juga rendah hanya 38% dari kapasitas terpasang.
Catatan The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), setidaknya ada 7 produsen baja dari 218 anggota IISIA di dalam negeri yang menghentikan produksi atau memangkas produksi, yaitu:
• Sarana Central menghentikan lini produksi zinc steel
• Bluescope menurunkan produksi zinc alumunium plywood sampai 50% dari produksi normal
• Tata Metal Lestari, Essar, dan satu pabrik lainnya menurunkan produksi zinc steel sampai 40-50%
• Satu produsen menghentikan beberapa lini produksi wire rod
• Krakatau Steel menghentikan lini produksi wire rod pada akhir 2018. Juga menurunkan produksi section and bar mill sampai 50%.
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim pernah mengatakan pabrik baja yang sudah tutup hingga 7 pabrik. "Industri hilir baja sudah tutup tujuh pabrik, kemudian kita kehilangan demand," kata Silmy di Jakarta, Jumat (13/12).
Jumlah pabrik tutup yang diklaim Silmy lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Direktur Eksekutif IISIA dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu mengklaim 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi saat ini yang kemudian berdampak pada PHK pekerja pabrik baja.
Silmy yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuturkan tekanan yang ada saat ini bisa mengancam KRAS ke depannyan sebab KRAS memproduksi produk baja untuk industri.
Selama ini, baja impor yang masuk ke pasar antara lain jenis HRC, CRC, WR Carbon, Bar Carbon, Bar Alloy, Section Carbon, Carbon Steel, Alloy Steel dan lainnya. Padahal untuk baja jenis HRC dan plat dalam posisi over supply.
Solusinya, utilisasi baja harus ditingkatkan tentunya dengan permintaan ditambah, caranya keran impor harus ditutup. Langkah ini diambil mengingat permintaan baja dalam negeri terus bertambah.
(twg/twg) Next Article KRAS Restrukturisasi Utang di 6 Lembaga Jasa Keuangan
Most Popular