Gara-gara Corona, Rupiah Terlemah Kedua di Asia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 January 2020 10:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga merana di perdagangan pasar spot.
Pada Selasa (28/1/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.647. Rupiah melemah 0,26% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, rupiah juga masih terjebak di zona merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.645 di mana rupiah melemah 0,33%.
Rupiah sudah melemah kala pembukaan pasar, tetapi tipis saja di 0,07%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam.
Rupiah tidak sendirian di jalur merah. Berbagai mata uang utama Asia juga tidak berdaya di hadapan greenback. Bahkan yen Jepang pun melemah, padahal mata uang Negeri Matahari Terbit ini berstatus sebagai aset aman (safe haven).
Akan tetapi, rupiah agak 'spesial'. Pelemahan 0,33% sudah cukup untuk membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Benua Kuning, hanya unggul dari ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:05 WIB:
Investor semakin cemas dengan penyebaran virus Corona. Mengutip data pemetaan satelit Arcgis, saat ini sudah ada 4.474 kasus virus Corona di China dengan 107 korban jiwa.
Tidak hanya China, kasus virus Corona juga sudah terkonfirmasi di berbagai negara. Di Singapura dan sudah ada lima kasus, Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan empat kasus, Prancis tiga kasus, Vietnam dua kasus, serta Kanada, Kamboja, Jerman, Pantai Gading, Nepal, dan Sri Lanka masing-masing satu kasus. Belum ada korban jiwa di luar China.
"Kita semua masih belum tahu seberapa besar skala penyebarannya. Ini bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga ekonomi. Dampaknya akan terasa di perekonomian China, dan pasti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia," kata Minori Uchida, Head of Global Research di MUFG Bank yang berbasis di Tokyo, seperti diberitakan Reuters.
Riset S&P menyebutkan, virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 poin persentase. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan 6%, maka virus Corona akan membuatnya melambat menjadi 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah bencana bagi China. Kalau sampai kejadian, maka akan menjadi catatan terburuk setidaknya sejak 1992.
"Pada 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 poin persentase dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 poin persentase," sebut riset S&P.
Berdasarkan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Bank Dunia mencatat China menyumbang 18,69% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Hampir seperlima. Jadi kalau China melambat, tentu dampaknya akan terasa ke seluruh dunia.
Prospek pertumbuhan ekonomi global yang meredup membuat investor ogah bermain di sekitar aset-aset berisiko. Arus modal menjauhi pasar keuangan Asia, sehingga rupiah dkk tersangkut di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (28/1/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.647. Rupiah melemah 0,26% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, rupiah juga masih terjebak di zona merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.645 di mana rupiah melemah 0,33%.
Rupiah tidak sendirian di jalur merah. Berbagai mata uang utama Asia juga tidak berdaya di hadapan greenback. Bahkan yen Jepang pun melemah, padahal mata uang Negeri Matahari Terbit ini berstatus sebagai aset aman (safe haven).
Akan tetapi, rupiah agak 'spesial'. Pelemahan 0,33% sudah cukup untuk membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Benua Kuning, hanya unggul dari ringgit Malaysia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:05 WIB:
Investor semakin cemas dengan penyebaran virus Corona. Mengutip data pemetaan satelit Arcgis, saat ini sudah ada 4.474 kasus virus Corona di China dengan 107 korban jiwa.
Tidak hanya China, kasus virus Corona juga sudah terkonfirmasi di berbagai negara. Di Singapura dan sudah ada lima kasus, Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan empat kasus, Prancis tiga kasus, Vietnam dua kasus, serta Kanada, Kamboja, Jerman, Pantai Gading, Nepal, dan Sri Lanka masing-masing satu kasus. Belum ada korban jiwa di luar China.
"Kita semua masih belum tahu seberapa besar skala penyebarannya. Ini bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga ekonomi. Dampaknya akan terasa di perekonomian China, dan pasti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia," kata Minori Uchida, Head of Global Research di MUFG Bank yang berbasis di Tokyo, seperti diberitakan Reuters.
Riset S&P menyebutkan, virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 poin persentase. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan 6%, maka virus Corona akan membuatnya melambat menjadi 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi di bawah 5% adalah bencana bagi China. Kalau sampai kejadian, maka akan menjadi catatan terburuk setidaknya sejak 1992.
"Pada 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 poin persentase dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 poin persentase," sebut riset S&P.
Berdasarkan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Bank Dunia mencatat China menyumbang 18,69% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Hampir seperlima. Jadi kalau China melambat, tentu dampaknya akan terasa ke seluruh dunia.
Prospek pertumbuhan ekonomi global yang meredup membuat investor ogah bermain di sekitar aset-aset berisiko. Arus modal menjauhi pasar keuangan Asia, sehingga rupiah dkk tersangkut di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular