
Setelah Ngebut, Rupiah Masuk Pitstop Dulu
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 January 2020 08:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah terbatas di perdagangan pasar spot pagi ini. Sepertinya pelemahan rupiah hanya sekadar koreksi teknikal setelah penguatan yang tajam beberapa waktu terakhir.
Pada Senin (20/1/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.635 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Selama minggu kemarin, rupiah menguat 0,91%. Sedangkan sejak akhir 2019 atau year-to-date, penguatan rupiah mencapai 1,9%. Rupiah bukan lagi mata uang terkuat di Asia, tetapi juga di dunia.
Oleh karena itu, rupiah tentu rentan terkena ambil untung (profit taking). Cuan gede yang didapat dari rupiah tentu menggoda investor untuk mencairkannya. Tekanan jual membuat rupiah terkoreksi, meski tipis saja. Koreksi yang masih sehat, karena kalau penguatan rupiah tidak terkendali justru menciptakan penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Namun secara fundamental, posisi rupiah masih cukup kuat sehingga investor nyaman memegang mata uang Tanah Air. Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia masih defisit tepatnya minus US$ 28,2 juta. Meski tekor, tetapi jauh lebih sedikit ketimbang ekspektasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan defisit neraca perdagangan hampir US$ 500 juta pada Desember 2019.
Dengan defisit perdagangan yang minim, neraca dagang Indonesia pada keseluruhan 2019 adalah US$ 3,19 miliar. Lagi-lagi walau defisit tetapi jauh melandai dibandingkan 2018 yang negatif US$ 8,69 miliar.
Ini menunjukkan aliran devisa dari ekspor-impor membaik ketimbang 2018. Dengan terciptanya damai dagang AS-China, maka ada harapan kinerja ekspor akan membaik tahun ini sehingga arus devisa semakin kuat.
Belum lagi dari sektor keuangan, arus modal masuk masih deras. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 2,71 triliun secara year-to-date. Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia pun melonjak menjadi RP 7.262 triliun.
Sedangkan di pasar obligasi, kepemilikan asing bertambah Rp 22,81 triliun secara year-to-date. Investor asing menguasai 39,2% dari obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, memperkirakan rupiah masih punya tenaga untuk kembali menguat. Pasalnya, posisi rupiah saat ini masih terlalu murah alias undervalued.
"Saat ini rupiah baru mengimpaskan sebagian pelemahan yang pernah begitu parah sampai menyentuh Rp 15.217/US$ pada Oktober 2018. Model yang dikembangkan Bahana TCW Investment Management memperkirakan rupiah bisa menguat sampai ke Rp 13.125/US$ atau bahkan Rp 13.024/US$ seiring perbaikan harga komoditas dan kondisi pasar keuangan negara-negara berkembang," papar Satria dalam risetnya.
Bank Indonesia (BI) pun sepertinya masih mengizinkan rupiah untuk terus menguat. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, mengatakan bahwa apresiasi rupiah tidak otomatis membuat daya saing produk Indonesia di pasar ekspor tergerus.
"Rupiah yang kuat akan membantu menurunkan biaya sehingga membuat eksportir lebih efisien. Terutama yang memiliki utang dalam valas," kata Dody, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (20/1/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.635 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Selama minggu kemarin, rupiah menguat 0,91%. Sedangkan sejak akhir 2019 atau year-to-date, penguatan rupiah mencapai 1,9%. Rupiah bukan lagi mata uang terkuat di Asia, tetapi juga di dunia.
![]() |
Oleh karena itu, rupiah tentu rentan terkena ambil untung (profit taking). Cuan gede yang didapat dari rupiah tentu menggoda investor untuk mencairkannya. Tekanan jual membuat rupiah terkoreksi, meski tipis saja. Koreksi yang masih sehat, karena kalau penguatan rupiah tidak terkendali justru menciptakan penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Namun secara fundamental, posisi rupiah masih cukup kuat sehingga investor nyaman memegang mata uang Tanah Air. Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia masih defisit tepatnya minus US$ 28,2 juta. Meski tekor, tetapi jauh lebih sedikit ketimbang ekspektasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan defisit neraca perdagangan hampir US$ 500 juta pada Desember 2019.
Dengan defisit perdagangan yang minim, neraca dagang Indonesia pada keseluruhan 2019 adalah US$ 3,19 miliar. Lagi-lagi walau defisit tetapi jauh melandai dibandingkan 2018 yang negatif US$ 8,69 miliar.
Ini menunjukkan aliran devisa dari ekspor-impor membaik ketimbang 2018. Dengan terciptanya damai dagang AS-China, maka ada harapan kinerja ekspor akan membaik tahun ini sehingga arus devisa semakin kuat.
Belum lagi dari sektor keuangan, arus modal masuk masih deras. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 2,71 triliun secara year-to-date. Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia pun melonjak menjadi RP 7.262 triliun.
Sedangkan di pasar obligasi, kepemilikan asing bertambah Rp 22,81 triliun secara year-to-date. Investor asing menguasai 39,2% dari obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas, memperkirakan rupiah masih punya tenaga untuk kembali menguat. Pasalnya, posisi rupiah saat ini masih terlalu murah alias undervalued.
"Saat ini rupiah baru mengimpaskan sebagian pelemahan yang pernah begitu parah sampai menyentuh Rp 15.217/US$ pada Oktober 2018. Model yang dikembangkan Bahana TCW Investment Management memperkirakan rupiah bisa menguat sampai ke Rp 13.125/US$ atau bahkan Rp 13.024/US$ seiring perbaikan harga komoditas dan kondisi pasar keuangan negara-negara berkembang," papar Satria dalam risetnya.
Bank Indonesia (BI) pun sepertinya masih mengizinkan rupiah untuk terus menguat. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, mengatakan bahwa apresiasi rupiah tidak otomatis membuat daya saing produk Indonesia di pasar ekspor tergerus.
"Rupiah yang kuat akan membantu menurunkan biaya sehingga membuat eksportir lebih efisien. Terutama yang memiliki utang dalam valas," kata Dody, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular