
Menanggung Beban Berat, Rupiah Kini Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 January 2020 10:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Hal serupa juga terjadi di perdagangan pasar spot.
Pada Rabu (15/1/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.706. Rupiah melemah 0,38% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Di pasar spot, nasib rupiah setali tiga uang. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.715 di mana rupiah melemah 0,37%.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah memang sudah melemah tetapi tipis saja di 0,04%. Seiring waktu, depresiasi rupiah kian dalam dan dolar AS kembali menembus level Rp 13.700.
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua faktor yang menjadi beban bagi rupiah. Pertama, rupiah rentan terserang koreksi teknikal setelah menguat tajam dalam beberapa hari terakhir.
Sejak akhir 2019 atau year-to-date, rupiah tercatat masih menguat 1,3% terhadap dolar AS. Penguatan ini lebih tajam dibandingkan mata uang Asia lainnya seperti yuan China (0,96%), dolar Hong Kong (0,16%), rupee India (0,71%), sampai ringgit Malaysia (0,32%).
Namun situasi ini membuat investor tergoda untuk mencairkan keuntungan. Kala ini terjadi, maka rupiah akan terkena tekanan jual sehingga nilainya melemah.
Faktor kedua adalah penantian akan rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data ekspor-impor periode Desember 2019 pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor masih akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 1,9% secara year-on-year (YoY). Sementara impor juga terkontraksi 4,4% YoY dan neraca perdagangan defisit US$ 465,5 juta.
Jika neraca dagang Desember betul-betul defisit, maka pada kuartal IV-2019 surplus perdagangan hanya terjadi sekali yaitu Oktober. Ini membuat prospek transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2019 dipertanyakan, apalagi defisit neraca perdagangan lumayan dalam pada November 2019.
Risiko defisit transaksi berjalan yang semakin dalam pada kuartal IV-2019 membuat fondasi rupiah menjadi rapuh. Rupiah praktis hanya mengandalkan pasokan devisa dari investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money yang gampang keluar-masuk. Tentu sebuah situasi yang kurang menguntungkan.
Namun ada pula faktor eksternal yang membuat investor agak menjaga jarak dengan pasar keuangan Asia. Pelaku pasar menantikan penandatanganan perjanjian damai dagang AS-China Fase I yang berlangsung hari ini di Gedung Putih.
"Kami akan merilis dokumen dan masyarakat bisa melihat bahwa resolusi perselisihan dijabarkan dengan detail. Ini adalah perjanjian yang bisa ditegakkan," kata Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, sebagaimana diwartakan Reuters.
Ternyata da keraguan bahwa China bisa memenuhi permintaan AS, terutama soal pembelian produk-produk made in the USA. Disebutkan bahwa China wajib menambah pembelian komoditas energi dari AS senilai US$ 50 miliar, impor jasa US$ 35 miliar, impor produk manufaktur US$ 80 miliar, plus produk pertanian US$ 24 miliar. Semuanya dilakukan dalam tempo dua tahun ke depan.
Sejauh ini AS dan China masih mempertahankan bea masuk yang dikenakan selama masa perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 550 miliar. China membalas dengan membebankan bea masuk terhadap impor produk asal AS senilai US$ 185 miliar.
"Kalau Bapak Presiden ingin (kesepakatan) Fase II segera mulai dibahas, maka beliau baru akan mempertimbangkan untuk mencabut bea masuk," kata Mnuchin.
Artinya penurunan atau penghapusan bea masuk baru akan terjadi setelah perjanjian damai dagang Fase II ditandatangani. Sebelum itu, produk AS yang masuk ke China akan menjadi lebih mahal karena pengenaan bea masuk.
Oleh karena itu, agak sulit bagi dunia usaha China untuk menambah pembelian produk AS jika harganya masih mahal. Tidak heran banyak yang tidak yakin China bisa memenuhi komitmen untuk membeli barang dan jasa dari Negeri Paman Sam.
Masih adanya ketidakpastian meski AS-China sudah di ambang damai dagang membuat pelaku pasar menjaga jarak dengan aset-aset berisiko. Sebelum semuanya jelas dan terang-benderang, lebih baik bermain aman dulu. Maka tidak heran rupiah dkk di Asia terjeblos ke zona merah.
Namun karena ada faktor domestik, beban rupiah lebih berat ketimbang para tetangganya. Rupiah pun menjadi mata uang terlemah di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:06 WIB:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (15/1/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.706. Rupiah melemah 0,38% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Di pasar spot, nasib rupiah setali tiga uang. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.715 di mana rupiah melemah 0,37%.
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua faktor yang menjadi beban bagi rupiah. Pertama, rupiah rentan terserang koreksi teknikal setelah menguat tajam dalam beberapa hari terakhir.
Sejak akhir 2019 atau year-to-date, rupiah tercatat masih menguat 1,3% terhadap dolar AS. Penguatan ini lebih tajam dibandingkan mata uang Asia lainnya seperti yuan China (0,96%), dolar Hong Kong (0,16%), rupee India (0,71%), sampai ringgit Malaysia (0,32%).
Namun situasi ini membuat investor tergoda untuk mencairkan keuntungan. Kala ini terjadi, maka rupiah akan terkena tekanan jual sehingga nilainya melemah.
Baca:Rupiah Number One! |
Faktor kedua adalah penantian akan rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data ekspor-impor periode Desember 2019 pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor masih akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 1,9% secara year-on-year (YoY). Sementara impor juga terkontraksi 4,4% YoY dan neraca perdagangan defisit US$ 465,5 juta.
Jika neraca dagang Desember betul-betul defisit, maka pada kuartal IV-2019 surplus perdagangan hanya terjadi sekali yaitu Oktober. Ini membuat prospek transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2019 dipertanyakan, apalagi defisit neraca perdagangan lumayan dalam pada November 2019.
Risiko defisit transaksi berjalan yang semakin dalam pada kuartal IV-2019 membuat fondasi rupiah menjadi rapuh. Rupiah praktis hanya mengandalkan pasokan devisa dari investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money yang gampang keluar-masuk. Tentu sebuah situasi yang kurang menguntungkan.
Namun ada pula faktor eksternal yang membuat investor agak menjaga jarak dengan pasar keuangan Asia. Pelaku pasar menantikan penandatanganan perjanjian damai dagang AS-China Fase I yang berlangsung hari ini di Gedung Putih.
"Kami akan merilis dokumen dan masyarakat bisa melihat bahwa resolusi perselisihan dijabarkan dengan detail. Ini adalah perjanjian yang bisa ditegakkan," kata Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, sebagaimana diwartakan Reuters.
Ternyata da keraguan bahwa China bisa memenuhi permintaan AS, terutama soal pembelian produk-produk made in the USA. Disebutkan bahwa China wajib menambah pembelian komoditas energi dari AS senilai US$ 50 miliar, impor jasa US$ 35 miliar, impor produk manufaktur US$ 80 miliar, plus produk pertanian US$ 24 miliar. Semuanya dilakukan dalam tempo dua tahun ke depan.
Sejauh ini AS dan China masih mempertahankan bea masuk yang dikenakan selama masa perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 550 miliar. China membalas dengan membebankan bea masuk terhadap impor produk asal AS senilai US$ 185 miliar.
"Kalau Bapak Presiden ingin (kesepakatan) Fase II segera mulai dibahas, maka beliau baru akan mempertimbangkan untuk mencabut bea masuk," kata Mnuchin.
Artinya penurunan atau penghapusan bea masuk baru akan terjadi setelah perjanjian damai dagang Fase II ditandatangani. Sebelum itu, produk AS yang masuk ke China akan menjadi lebih mahal karena pengenaan bea masuk.
Oleh karena itu, agak sulit bagi dunia usaha China untuk menambah pembelian produk AS jika harganya masih mahal. Tidak heran banyak yang tidak yakin China bisa memenuhi komitmen untuk membeli barang dan jasa dari Negeri Paman Sam.
Masih adanya ketidakpastian meski AS-China sudah di ambang damai dagang membuat pelaku pasar menjaga jarak dengan aset-aset berisiko. Sebelum semuanya jelas dan terang-benderang, lebih baik bermain aman dulu. Maka tidak heran rupiah dkk di Asia terjeblos ke zona merah.
Namun karena ada faktor domestik, beban rupiah lebih berat ketimbang para tetangganya. Rupiah pun menjadi mata uang terlemah di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:06 WIB:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular