Katanya Damai Itu Indah, Tapi Kok Rupiah Melemah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 January 2020 08:14
Katanya Damai Itu Indah, Tapi Kok Rupiah Melemah?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Faktor domestik dan eksternal menjadi beban bagi langkah mata uang Tanah Air.

Pada Rabu (15/1/2020), US$ 1 dihargai Rp 13.670 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam. Pada pukul 08:05 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.675 di mana rupiah melemah 0,07%.


Dari dalam negeri, rupiah sepertinya mulai masuk masa konsolidasi setelah menguat tajam sejak awal tahun. Ini sudah terlihat kemarin, di mana rupiah menyelesaikan perdagangan pasar spot di posisi stagnan Rp 13.665/US$.

Harap maklum, laju rupiah sudah agak keterlaluan. Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 1,55% di hadapan greenback dan menjadi mata uang dengan penguatan paling tinggi di Asia.

Oleh karena itu, pasti akan tiba waktunya investor 'gatal' untuk mencairkan keuntungan. Cuan besar yang didapat dari rupiah memang begitu menggoda, sehingga kala direalisasikan pasti akan ada tekanan jual. Rupiah pun melemah.



Namun faktor eksternal tampaknya juga menjadi batu sandungan bagi rupiah. Buktinya pelemahan tidak hanya dialami oleh rupiah, tetapi mayoritas mata uang utama Asia pun bernasib serupa.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:06 WIB:

 

Hari ini, AS-China dijadwalkan meneken perjanjian damai dagang Fase I di Gedung Putih. Dokumen setebal 86 halaman itu akan ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He.


Namun belum-belum sudah ada suara skeptis soal perjanjian ini. China disebut-sebut berkomitmen untuk membeli produk manufaktur AS senilai hampir US$ 80 miliar dalam dua tahun ke depan. Beberapa kalangan menilai target tersebut tidak realistis.

Apalagi sejauh ini AS dan China masih mempertahankan bea masuk yang dikenakan selama masa perang dagang. Sebagai informasi, AS mengenakan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 550 miliar. China membalas dengan membebankan bea masuk terhadap impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.

"Kalau Bapak Presiden ingin (kesepakatan) Fase II segera mulai dibahas, maka beliau baru akan mempertimbangkan untuk mencabut bea masuk," kata Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, seperti diberitakan Reuters.


Artinya penurunan atau penghapusan bea masuk baru akan terjadi setelah perjanjian damai dagang Fase II ditandatangani. Sebelum itu, produk AS yang masuk ke China akan menjadi lebih mahal karena pengenaan bea masuk.

Oleh karena itu, agak sulit bagi dunia usaha China untuk menambah pembelian produk AS jika harganya masih mahal. Tidak heran banyak yang tidak yakin China bisa memenuhi komitmen untuk membeli produk manufaktur AS senilai US$ 80 miliar.

Belum lagi katanya ada klausul bahwa China akan menambah pembelian komoditas energi dari AS senilai US$ 50 miliar, impor jasa US$ 35 miliar, plus produk pertanian US$ 24 miliar. Semuanya dilakukan dalam tempo dua tahun ke depan.

Apabila China sampai gagal melaksanakan komitmen tersebut, maka bukan tidak mungkin Trump akan berubah pikiran, Bisa saja tidak akan ada kesepakatan Fase II karena China dinilai ingkar janji. Bukan tidak mungkin perang dagang bakal berkobar kembali.

Masih adanya ketidakpastian meski AS-China sudah di ambang damai dagang membuat pelaku pasar menjaga jarak dengan aset-aset berisiko. Sebelum semuanya jelas dan terang-benderang, lebih baik bermain aman dulu. Maka tidak heran rupiah dkk di Asia terjeblos ke zona merah.

Damai memang indah, tetapi belum cukup untuk membuat rupiah tidak melemah...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular