Ini Penyebab China Tak Ikutan 'Panas' dalam Konflik Iran-AS

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
11 January 2020 12:56
Ini Penyebab China Tak Ikutan 'Panas' dalam Konflik Iran-AS
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbeda dari sesumbarnya, Presiden Amerika Serikat (AS) mendadak membatalkan rencana menyerang balik Iran, setelah pangkalan militernya dihujani rudal oleh garda militer Negeri Persia tersebut. Perang dunia ketiga pun terhindarkan dan banyak pihak menarik nafas lega. Tidak hanya Irak, tapi juga China.

Inkonsistensi sikap Trump ini disambut positif pasar. Indeks Dow Jones menguat sebesar 161,4 poin ke 28,745 pada Rabu, menyambut pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan tidak akan menyerang Iran dan hanya mengenakan sanksi. Dia juga mengklaim Iran sudah "mundur" setelah serangan atas pangkalan militer AS. 

Sikap Trump ini dipastikan menjadi kabar bagus bagi China, yang dalam konstalasi politik antara AS versus Iran sebenarnya berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Iran. Baru-baru ini, angkatan laut China menggelar latihan gabungan dengan Iran dan Rusia, yang merupakan pertama kali terjadi dalam sejarah.

Dari sisi ekonomi, China juga dekat dengan Negeri Para Mullah ini dalam hal pasokan minyak bumi. Pada 2018, nilai impor minyak Iran mencapai US$15 miliar atau setara dengan 6,3% dari total minyak yang diimpor China. Sebelum sanksi AS berlaku, porsi Iran mencapai 9%.

Di hadapan AS, China juga berseteru karena tengah terlibat perang dagang dengan Negeri Sam, dan tengah dipusingkan oleh demonstrasi aktivis Hongkong yang secara resmi didukung oleh AS-sesuatu yang membuat Beijing berang karena dianggap mencampuri urusan dalam negerinya.

Dengan posisi itu, merespons serangan AS yang menewaskan Jenderal Iran Qasem Soleimani, semestinya China bersikap sama seperti Rusia: mengecam. Namun yang terjadi tidak demikian. Negeri Panda ini adem-adem saja. tak ada kata 'mengecam' atau 'mengutuk'.

Mengutip Xinhua, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dilaporkan menelepon Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif pada Minggu (04/01/2020), Perlu waktu sehari, setelah serangan itu terjadi, untuk China menyampaikan sikap resminya kepada Iran.

Dia menyebut aksi AS tersebut "berbahaya", "melanggar tatanan hubungan internasional", dan bisa memperburuk tensi. Kepada AS, Wang Yi menyerukan Trump untuk tak menyalahgunakan kekuasaan dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan masalah.

Sikap China yang cenderung lunak ini tentu saja bisa dipahami karena setidaknya ada dua hal yang "menyandera" Negeri Tirai Bambu tersebut, mencegahnya dari mengeluarkan kecaman atau sikap politik sekeras yang disampaikan oleh Rusia yang juga sama-sama seteru AS.

Penjelasan pertama atas sikap lunak China tak lain adalah fakta bahwa negeri tersebut masih bergantung pada minyak dan gas, yang porsinya mencapai 26% dari bauran energinya. Jika Beijing ikut keras seperti Rusia, berpihak pada Iran, sama artinya mereka menggosok konflik itu.

Maka, perang dunia ketiga pun tak terhindarkan karena polarisasi kekuatan yang terbentuk. Jika perang benar terjadi, Daratan China mungkin tak luluh-lantak, karena lokasi konflik yang berpusar di wilayah Irak, Iran, Suriah, Lebanon, semenanjung Arab, dan Israel.

Namun perang tersebut bakal memukul keras perekonomian China, baik dari sisi anggaran perang yang tidak sedikit, dan juga bisa membawa ekonomi mereka ke jurang resesi karena harga minyak mentah meroket. Ini akan memperberat laju pertumbuhan ekonomi mereka.

CNBC International melaporkan harga minyak mentah dunia bakal meroket ke level US$ 100 per barel, dari posisi sekarang di kisaran US$60 per barel, karena pasokan minyak melewati Selat Hormuz bakal terhenti. Padahal, selat itu menyumbang 21% pasokan minyak dunia.

Secara total, konsumsi minyak China saat ini merupakan yang terbesar kedua dunia, mengekor AS. Namun berbeda dari AS yang mayoritas minyaknya berasal dari dalam negeri, China sangat bergantung pada impor energi fosil tersebut. Dus, kenaikan harga minyak dunia bakal membebani negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.

Di sisi lain, laju konsumsi minyak China saat ini menjadi yang tercepat. Laporan BP Statistical Review 2019 mencatat konsumsi minyak di China melonjak 680.000 barel minyak per hari (bph) per 2018, sedangkan AS naik 500.000 bph.

Penjelasan kedua terkait dengan isu terhangat saat ini yakni penandatanganan kesepakatan dagang fase pertama antara AS dan China yang dijadwalkan berlangsung pada 15 Januari, atau kurang dari sepekan ke depan.

China tentu tidak ingin mengambil risiko untuk membuat Trump meradang dengan komen-komen atau manuver politik China di kawasan. AS bakal memiliki alasan baru untuk membatalkan kesepakatan dagang yang negosiasinya berlangsung lebih dari setahun itu.

Tidak heran, mengutip Menteri avad Zarif sebagaimana diberitakan Xinhua, menyebutkan bahwa China memiliki peran penting untuk mencegah kenaikan tensi di kawasan tersebut. Jika terjadi perang, bukan hanya Iran dan negara di kawasan Teluk yang rugi. China juga rugi bahkan jikapun tak ikut berperang.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Ditemukan Ladang Minyak Raksasa Baru di Iran & Brazil

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular