
Data Tenaga Kerja AS Buruk, Wall Street Dibuka Fluktuatif

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) dibuka menguat tipis pada perdagangan Jumat (10/01/2020) di tengah rilis data tenaga kerja yang lebih lemah dari ekspektasi.
Indeks Dow Jones Industrial Average hanya naik 3 poin pada pembukaan perdagangan pukul 08:30 waktu setempat (21:30 WIB), tetapi berbalik minus 11,5 poin (-0,04%) ke 28.945,4 selang 20 menit kemudian. Indeks Nasdaq masih naik 6,95 poin (0,08%) ke 9.210,34 dan S&P 500 bertambah 1,23 poin (0,04%) ke 3.275,96.
Saham layanan kesehatan dan utilitas menjadi pendorong kenaikan di Indeks S&P 500, masing-masing menguat sebesar 0,4%.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Desember negeri Sam ini menyerap 145.000 pekerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll). Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya sebanyak 256.000 tenaga kerja, dan di bawah ekspektasi pasar 160.000.
Rata-rata upah per jam juga mengecewakan, hanya naik 0,1% month-on-month (MoM), lebih rendah dari kenaikan bulan sebelumnya 0,3%. Secara tahunan, kenaikan hanya setara 2,9%, di bawah ekspektasi sebesar 3,1%. Rendahnya kenaikan upah menekan daya beli masyarakat.
"Laporan tenaga kerja Desember sedikit lebih rendah dari ekspektasi tapi tak cukup membuat pasar dilanda kekhawatiran besar terkait barang konsumsi dan kesehatan ekonomi secara umum," tutur Alec Young, Direktur FTSE Russell, sebagaimana dikutip CNBC International.
Bursa saham menyentuh rekor tertinggi pada Kamis, menyusul meredanya tensi antara Iran dan AS. Sepanjang pekan itu, indeks S&P 500 sudah naik 1,2% dan Dow Jones serta Nasdaq naik masing-masing 1,1% dan 2%.
Dow Jones sempat menguat a 200 poin pada Senin, tetapi kembali surut sebesar 100 poin sehari kemudian karena ketidakpastian seputar konflik AS dan Iran. Pada Rabu, Presiden AS Donald Trump mengklaim Iran sudah "mundur" setelah serangan atas pangkalan militer AS.
Wall Street juga riang karena optimisme penandatanganan kesepakatan dagang fase pertama antara AS dan China, setelah selama dua tahun saling mengenakan tarif tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ags/ags) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?