
Wajarkah Arab Saudi Marah ke OPEC?

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan aliansinya yang sering disebut OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel per hari (bpd) pada Januari 2019. Namun kenyataannya banyak anggota yang tidak memiliki komitmen penuh dan membuat Arab Saudi jadi geram.
Komitmen tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk mengimbangi kelebihan produksi minyak global yang dapat membuat harga minyak anjlok. Faktanya beberapa negara anggota malah memproduksi minyak dengan jumlah yang melebihi kesepakatan.
Di tubuh OPEC sendiri terdapat enam negara yang tidak berkomitmen penuh terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Keenam negara tersebut antara lain adalah Kongo, Ekuador, Gabon, Irak, Nigeria, dan Uni Emirat Arab.
Sejak Januari-Oktober 2019 keenam negara tersebut gagal mencapai target pemangkasan produksi minyak bulanan. Parahnya, empat negara seperti Kongo, Gabon, Irak, dan Nigeria bukannya malah memangkas produksi minyak malah memproduksi lebih dari yang disepakati.
Beralih ke aliansi OPEC yang beranggotakan 10 negara, 50% negaranya gagal mematuhi kesepakatan yang telah dibuat. Mereka ini adalah Malaysia, Oman, Rusia, Sudan Selatan, dan Sudan. Malaysia dan Sudan Selatan justru malah memproduksi minyak melebihi yang ditetapkan.
Akibat dari ketidakpatuhan yang terjadi di tubuh OPEC+, Arab Saudi harus menanggung luka mengkompensasi ketidakpatuhan tersebut dengan memangkas produksi minyak dalam negerinya. Sebagai catatan, target produksi minyak mentah Arab Saudi periode Oktober 2019 seharusnya 10,3 juta bpd. Namun AS memangkas lebih dalam menjadi 9,89 juta bpd. Itu artinya Arab Saudi memangkas total 743.000 produksi minyak mentahnya dari yang ditargetkan sebanyak 322.000 bpd.
OPEC dan aliansinya ini dijadwalkan bertemu pekan ini, tepatnya pada 4-5 Desember 2019 di Vienna. Dalam kesempatan tersebut Arab akan mengirim isyarat bahwa sebagai produsen minyak yang dominan di OPEC tidak bersedia lagi mengkompensasi ketidakpatuhan yang dapat merugikan Arab.
Seperti yang diketahui bersama bahwa Arab Saudi sedang punya hajat yang tak lain dan tak bukan adalah penawaran saham perdana (IPO) raksasa BUMN migasnya yaitu Saudi Aramco. Ketika pasar masih khawatir bahwa kelebihan pasokan masih akan terjadi, harga minyak bisa sewaktu-waktu anjlok dan tentu bukan kabar yang baik untuk Aramco jika ini terjadi.
Baca : 'OPEC+ Curang, Arab Saudi Geram & Kehilangan Kesabaran'
Tak hanya itu, OPEC juga berencana untuk memperpanjang periode pemangkasan hingga tahun depan. Sebelumnya OPEC sepakat untuk memangkas produksi minyak 1,2 juta bpd. Target tersebut kemudian diperpanjang hingga Maret 2020 saat pertemuan digelar Juni lalu.
Apa pun keputusan yang dihasilkan dari pertemuan tersebut tentu akan menjadi sentimen yang menggerakkan pasar.
Beberapa negara ‘tidak patuh’ terhadap kesepakatan tersebut karena beberapa hal. Misalnya di Ecuador yang sedang mengalami krisis akibat gelombang demo yang menolak penghapusan subsidi bahan bakar yang diumumkan pada 3 Oktober lalu.
Sebagai negara yang struktur ekonominya bertumpu pada komoditas, Ekuador mengalami guncangan besar ketika harga minyak anjlok dalam di tahun 2014. Anjloknya harga minyak membuat keseimbangan fiskal terganggu. Penerimaan negara berkurang menjadi berkurang menyebabkan defisit fiskal yang parah.
Defisit fiskal tersebut ditambal dengan utang domestik jangka pendek, penarikan cadangan bank sentral hingga penempatan utang luar negeri dengan biaya yang sangat tinggi. Sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40% dari total PDB.
Faktor lain yang juga semakin memberatkan perekonomian Ekuador adalah pengeluaran pemerintah untuk gaji serta subsidi bahan bakar yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Adanya kebijakan populis untuk menaikkan gaji dan juga subsidi bahan bakar pada akhirnya hanya memberatkan ekonomi Ekuador.
Kondisi sulit yang dialami Ecuador ini membuat mengumumkan akan keluar dari OPEC pada 1 Januari tahun depan. Beberapa kali Ekuador meminta organisasi untuk membolehkan Ecuador memproduksi minyak lebih dari kuota. Namun dalam beberapa bulan terakhir ini produksi minyak Ecuador anjlok tajam dikarenakan adanya krisis dan program pengetatan yang dijalankan pemerintah.
Ketika semua negara produsen minyak memangkas produksi minyak mentah mereka, maka pasokan akan berkurang. Jika permintaan terus tumbuh maka akibatnya harga minyak akan naik.
Untuk negara sekelas Arab kenaikan harga Arab adalah hal yang bagus. Namun untuk negara-negara lain belum tentu demikian, terutama negara pengimpor minyak dan negara dengan intensitas energi yang tinggi.
Ketika harga minyak sebagai bahan bakar naik, maka barang-barang yang diproduksi dengan bahan bakar akan naik. Tak hanya itu biaya transportasi juga akan ikut naik. Ketika harga-harga naik, maka inflasi akan terjadi.
Inflasi yang tinggi akan membuat rakyat tercekik dan perekonomian menjadi terganggu. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan ekonomi tumbuh melambat. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1970-an saat revolusi Iran.
Selain itu untuk negara-negara dengan intensitas energi yang tinggi seperti Rusia kenaikan harga minyak tentu akan memberikan dampak terhadap perekonomian negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin tersebut.
Seperti yang diketahui intensitas energi mengukur jumlah energi yang digunakan per unit PDB. Intensitas energi yang tinggi mengindikasikan biaya yang digunakan untuk mengubah energi menjadi PDB.
Seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan energi semakin efisien sehingga dampaknya terhadap inflasi tidak sesignifikan dahulu. Selain masalah efisiensi energi, faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk mengukur apakah kenaikan harga minyak akan menyebabkan inflasi atau tidak adalah struktur ekonomi suatu negara serta kebijakan moneter.
Di saat-saat kondisi ekonomi sedang tidak kondusif seperti sekarang ini akibat perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak bukanlah opsi yang diinginkan tentunya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Duel Panas! Rusia VS Arab, Siapa Jagoan Minyak?
