
Terlalu Banyak yang Ditunggu, Rupiah Jadi Malas Bergerak
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 November 2019 08:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot hari ini. Beberapa waktu belakangan, pergerakan rupiah memang kurang dinamis.
Pada Rabu (27/11/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.080 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Akhir-akhir ini mata uang Tanah Air agak malas bergerak. Dalam sepekan terakhir, rupiah stagnan secara point-to-point meski dalam sebulan ini melemah 0,46%.
Senasib dengan rupiah, mata uang Asia juga bergerak malas-malasan. Pelemahan atau penguatan hanya terjadi dalam rentang tipis.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:06 WIB:
Rupiah dkk di Asia terombang-ambing oleh dinamika hubungan AS-China. Pasar sudah mengetahui bahwa AS-China bakal menandatangani perjanjian damai dagang Fase I. Namun kapan waktunya belum jelas. Selama itu pula berbagai spekulasi berseliweran.
Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Stret ditutup menguat akibat kabar positif seputar isu tersebut. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan, Washington dan Beijing sudah dekat untuk mencapai perjanjian dagang.
"Kami sedang dalam putaran terakhir dalam pembahasan kesepakatan yang sangat penting. Bahkan saya rasa ini akan menjadi salah satu kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Semua berjalan baik, tetapi pada saat yang sama kami ingin ada perbaikan di Hong Kong," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Trump menambahkan, Presiden China Xi Jinping tentu akan mewujudkan kedamaian dan ketertiban di Hong Kong yang dilanda aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan. Trump yakin China akan merespons positif hasil pemilihan Dewan Distrik di Hong Kong di mana kubu pro-demokrasi menang telak.
"Saya rasa Presiden Xi bisa melakukan itu. Saya kenal beliau, dan beliau akan mewujudkannya," ujar Trump.
Namun sejatinya kabar itu masih sangat menggantung, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Belum ada kejelasan kapan dan apa saja poin-pon dalam kesepakatan damai dagang. Ini yang membuat investor masih ragu untuk bermain agresif dengan mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
"Apakah (pernyataan Trump) memberi tahu sesuatu yang baru? Apakah ada sesuatu yang belum kita ketahui dari enam atau tujuh pekan lalu?" tegas Neil Wilson, Chief Market Analyst di markets.com, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga menantikan rilis data penting. Malam ini waktu Indonesia, US Census Bureau akan melaporkan pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam kuartal III-2019.
Pada pembacaan pertama, ekonomi AS tercatat tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Arah kebijakan moneter AS akan sangat menentukan nasib greenback yang kemudian mempengaruhi seluruh mata uang dunia. Jadi harap maklum kalau pasar wait and see, menunggu kepastian bagaimana performa pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (27/11/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.080 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Akhir-akhir ini mata uang Tanah Air agak malas bergerak. Dalam sepekan terakhir, rupiah stagnan secara point-to-point meski dalam sebulan ini melemah 0,46%.
Senasib dengan rupiah, mata uang Asia juga bergerak malas-malasan. Pelemahan atau penguatan hanya terjadi dalam rentang tipis.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:06 WIB:
Rupiah dkk di Asia terombang-ambing oleh dinamika hubungan AS-China. Pasar sudah mengetahui bahwa AS-China bakal menandatangani perjanjian damai dagang Fase I. Namun kapan waktunya belum jelas. Selama itu pula berbagai spekulasi berseliweran.
Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Stret ditutup menguat akibat kabar positif seputar isu tersebut. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan, Washington dan Beijing sudah dekat untuk mencapai perjanjian dagang.
"Kami sedang dalam putaran terakhir dalam pembahasan kesepakatan yang sangat penting. Bahkan saya rasa ini akan menjadi salah satu kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Semua berjalan baik, tetapi pada saat yang sama kami ingin ada perbaikan di Hong Kong," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Trump menambahkan, Presiden China Xi Jinping tentu akan mewujudkan kedamaian dan ketertiban di Hong Kong yang dilanda aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan. Trump yakin China akan merespons positif hasil pemilihan Dewan Distrik di Hong Kong di mana kubu pro-demokrasi menang telak.
"Saya rasa Presiden Xi bisa melakukan itu. Saya kenal beliau, dan beliau akan mewujudkannya," ujar Trump.
Namun sejatinya kabar itu masih sangat menggantung, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Belum ada kejelasan kapan dan apa saja poin-pon dalam kesepakatan damai dagang. Ini yang membuat investor masih ragu untuk bermain agresif dengan mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
"Apakah (pernyataan Trump) memberi tahu sesuatu yang baru? Apakah ada sesuatu yang belum kita ketahui dari enam atau tujuh pekan lalu?" tegas Neil Wilson, Chief Market Analyst di markets.com, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga menantikan rilis data penting. Malam ini waktu Indonesia, US Census Bureau akan melaporkan pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam kuartal III-2019.
Pada pembacaan pertama, ekonomi AS tercatat tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Arah kebijakan moneter AS akan sangat menentukan nasib greenback yang kemudian mempengaruhi seluruh mata uang dunia. Jadi harap maklum kalau pasar wait and see, menunggu kepastian bagaimana performa pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular