
Analisis
Menakar Peluang Bank bjb Hadapi Ancaman Resesi Global
Donald Banjarnahor & Irvin Avriano A., CNBC Indonesia
26 November 2019 13:32

"The unseen enemy is always the most fearsome [Musuh yang tidak terlihat selalu menjadi yang paling ditakuti]," tulis George RR Marin dalam Clash of Kings, novel lanjutan dari A Game of Thrones.
Layaknya makhluk halus, salah satu musuh tidak terlihat di seluruh negara adalah resesi. Resesi sendiri berarti kontraksi dalam siklus bisnis di mana terjadi penurunan tajam pada aktivitas ekonomi yang berdampak sangat luas, terutama yang terlihat dari kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Faktor lain yang dapat menjadi indikator resesi adalah kenaikan harga barang (inflasi), inversi tingkat imbal hasil (yield), penciptaan tenaga kerja, manufaktur, kualitas laba perusahaan, dan pasar perumahan. Tiga faktor lain adalah produksi industri, pendapatan masyarakat, dan perdagangan ritel.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi saja, saat ini dunia sedang digegerkan ancaman resesi yang sekarang sudah membayangi beberapa negara, yaitu Jerman, Argentina, Hong Kong, dan Inggris Raya yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif secara antar kuartalan (QoQ) pada kuartal II-2019.
Negara yang lolos dari jebakan resesi karena pertumbuhan ekonominya masih meningkat selepas mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal I-2019 atau tidak tumbuh pada kuartal II-2019 adalah Italia, Meksiko, Brasil, dan Singapura.
Meskipun lolos dari jebakan resesi, setidaknya empat negara ini masih harus mewaspadai negatifnya pertumbuhan ekonomi mereka. Negara yang pertumbuhan ekonominya masih meningkat selepas mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal I-2019 atau tidak tumbuh pada kuartal II-2019 adalah Italia, Meksiko, Brasil, dan Singapura.
Belum lagi saat ini perlambatan ekonomi dunia yang dimotori negara-negara ekonomi maju dan masih belum terjerat jebakan resesi seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China, justru masih menjadi ancaman bagi motor-motor tersebut.
Semakin terlihatnya ancaman resesi dunia ditunjukkan oleh prediksi Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada pekan lalu yang menyampaikan hitungannya bahwa pertumbuhan ekonomi dunia dapat melambat menjadi 3%, turun dari prediksi sebelumnya 3,2%.
Dikhawatirkan, jika tiga negara ekonomi maju yang tersisa tersebut terpapar resesi, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan bisnis di Indonesia akan terganggu juga.
Di mana posisi Indonesia? Tampaknya kita juga belum dapat terlalu lega, karena dari sisi pertumbuhan ekonomi, negara kita tercinta ini masih tidak lepas dari jebakan zona pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2018 dan kuartal I-2019 mencatatkan angka pertumbuhan negatif, tepatnya -1,69% dan -0,52%.
Tidak hanya itu, angka penjualan barang oleh peritel juga menunjukkan kekhawatiran dan tekanan, meskipun belum di bawah titik nol, karena pertumbuhannya semakin melambat. Belum lagi jika dibandingkan dengan bulan pada tahun 2018 silam, semakin jelaslah perlambatannya.
Data dari angka Survei Penjualan Eceran itu dikeluarkan Bank Indonesia secara bulanan yang bertujuan mengetahui sumber tekanan inflasi dari sisi permintaan dan konsumsi masyarakat. Sejak Mei, penjualan ritel dibukukan 7,7%, lebih rendah daripada Mei 2018 yakni 8,3%. Lalu pada Juni, angka penjualan ritel -1,8%, lebih rendah dari 2,3% pada Juni 2018.
Karena itu sudah sepantasnya kita di dalam negeri melihat angka-angka ritel itu secara lebih serius dan sebentar mengesampingkan anggapan bahwa daya beli konsumtif orang Indonesia mampu mendukung angka konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Faktor tingkat konsumsi yang melambat itu dan iklim bisnis yang memburuk juga tidak menutup kemungkinan dapat merambat ke risiko debitur serta pertumbuhan kredit perbankan domestik.
Riset Bank Dunia (The World Bank) dalam Global Economic Risks and Implications for Indonesia meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya mencapai 4,9% pada 2020 dan terus menurun hingga 4,6% di 2022.
Laporan tersebut menyatakan bahwa perlambatan ekonomi global menimbulkan pengaruh terhadap Indonesia. Beberapa faktor yang mempengaruhi seperti di Amerika Serikat (AS) sudah mulai terlihat tanda resesi di pasar surat utang negara. Kemudian di Eropa mesin pertumbuhan melambat, sedangkan di China terjadi pelemahan.
Bank Dunia mengungkapkan, pertumbuhan di Indonesia sudah menunjukkan perlambatan dan bakal melemah lebih dalam di tengah perlambatan global. "Resesi global bisa melukai Indonesia," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih turun lebih dalam, karena lemahnya produktivitas dan pertumbuhan pekerja.
Sebagai pemimpin di industri BPD, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa dan Banten Tbk (Bank bjb/BJBR) menjadi salah satu BPD yang cukup kuat menghadapi isu resesi global.
Bank yang dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini terbukti telah melewati dua kali masa sulit perekonomian nasional di tahun 1998 dan 2008, yang bisa menjadi pengalaman dalam menghadapi ketidakpastian.
Likuditas Bank bjb cukup longgar yang tercermin di loan to deposits ratio (LDR) pada level 88,1%, dibandingkan dengan industri perbankan di level 94,66%.
Dengan likuiditas tersebut, BJBR mampu untuk meraih target pertumbuhan kredit 10-11% pada tahun ini serta mendukung pertumbuhan pada tahun depan.
Sementara itu capital adequacy ratio (CAR) bank bjb cukup optimal di level 16,62% dan akan bertambah seiring dengan rencana private placement dari sejumlah pemegang saham dengan nilai Rp 412 miliar yang akan dieksekusi tahun ini dan tahun depan juga, serta corporate action lainnya.
Hingga September 2019, Bank bjb mencatatkan total kredit Rp 81,48 triliun meningkat 9,8% di bandingkan dengan setahun sebelumnya. Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya penyaluran kredit pada kuartal III lebih bergairah.
Bila dibedah lagi kredit konsumer dengan andalan kredit PNS masih mendominasi portofolio bank bjb. Nilainya mencapai Rp 55,52 triliun pada kuartal III, tumbuh 13% dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
Kredit untuk PNS memiliki outstanding Rp 40,18 triliun, tumbuh 6,2% dari setahun sebelumnya. NPL untuk kredit hanya di level 0,2% dan special mentions (kolektibilitas 2) di 2,3%
Hal tersebut mencerminkan bahwa kredit PNS memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit modal kerja maupun investasi di tengah ketidakpastian global maupun resesi dunia.
Kredit konsumer lainnya adalah kredit pensiunan yang tumbuh agresif 35,6% selama setahun menjadi Rp 15,33 triliun pada kuartal III. Kredit pensiunan ini bahkan memiliki NPL yang sangat rendah, di level 0,16% dengan kredit kolektibilitas 2 di 1,2%
Sementara itu, kredit mikro yang disalurkan Bank bjb mencapai Rp 5,76 triliun, naik 9,4%% dibandingkan dengan setahun lalu. Usaha mikro produktif terbukti menjadi segmen yang kuat dalam menghadapi beberapa kali krisis di Indonesia.
Selanjutnya, Bank bjb juga mencatatkan pertumbuhan 8,2% pada kredit properti menjadi Rp 6,18 triliun. Adapun kredit komersial mengalami penurunan 0,6% menjadi Rp 14,02 triliun.
Sementara itu DPK tumbuh 10% menjadi Rp 92,53 triliun dengan dana murah (CASA) mendominasi 51,5%. Sama seperti kredit penghimpunan DPK pada kuartal III lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang hanya tumbuh 7%.
Lebih rinci, tabungan tumbuh 6,9% menjadi Rp 18,02 triliun, diikuti deposito tumbuh 10,7% menjadi Rp 44,88 triliun. Adapun giro tumbuh 10,9%% menjadi Rp 29,63 triliun.
Faktor lain yang membuat bank ini kuat menghadapi ketidakpastian adalah tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada September 2019 berada pada level 1,75% secara gross dan 1,0% secara nett. Tingkat NPL ini sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan.
Bantalan lain dalam menghadapi ketidakpastian adalah Bank bjb juga telah meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sesuai PSAK 71. Tidak tangung-tangung bank yang dipimpin oleh Direktur Utama Yuddy Renaldi ini mencadangkan laba sekitar Rp 80 miliar perbulan. Total CKPN hingga akhir September 2019 sebesar Rp 1,37 triliun dengan coverage rasio sebesar 96%.
BPD serta perbankan lainnya, mengalihkan keuntungan ke CKPN untuk memenuhi regulasi. Dalam regulasi ini CKPN dibentuk ketika kredit disalurkan, bukan lagi ketika terjadi keterlambatan pembayaran seperti PSAK 51. Artinya, Bank harus membentuk CKPN untuk semua kredit, termasuk yang tergolong lancar, dan yang telah disalurkan sebelumnya.
Peningkatan CKPN Ini berperan menurunkan profitabilitas Bank bjb pada kuartal III-2019. Laba bersih bank only turun dari Rp 1,32 triliun menjadi Rp 1,11 triliun.
Selain itu penurunan NIM sebesar 83bps menjadi 5,69% juga berperan menurunkan laba. Hal ini seiring dengan kenaikan biaya dana dari 4,9% menjadi 5,4%. Namun, NIM bank bjb tersebut masih di atas rata-rata perbankan yang tercatat 4,9%.
Ibarat sedia payung sebelum hujan, peningkatan CKPN cenderung positif untuk menghadapi ketidakpastian. Bila dampak resesi benar-benar menghantam Indonesia, maka bank ini termasuk yang paling kuat menghadapi risiko-risiko yang ada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dob/dob) Next Article Top! Bank bjb (BJBR) Bagi Dividen Rp 104,55/ Saham
Layaknya makhluk halus, salah satu musuh tidak terlihat di seluruh negara adalah resesi. Resesi sendiri berarti kontraksi dalam siklus bisnis di mana terjadi penurunan tajam pada aktivitas ekonomi yang berdampak sangat luas, terutama yang terlihat dari kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Faktor lain yang dapat menjadi indikator resesi adalah kenaikan harga barang (inflasi), inversi tingkat imbal hasil (yield), penciptaan tenaga kerja, manufaktur, kualitas laba perusahaan, dan pasar perumahan. Tiga faktor lain adalah produksi industri, pendapatan masyarakat, dan perdagangan ritel.
Negara yang lolos dari jebakan resesi karena pertumbuhan ekonominya masih meningkat selepas mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal I-2019 atau tidak tumbuh pada kuartal II-2019 adalah Italia, Meksiko, Brasil, dan Singapura.
Meskipun lolos dari jebakan resesi, setidaknya empat negara ini masih harus mewaspadai negatifnya pertumbuhan ekonomi mereka. Negara yang pertumbuhan ekonominya masih meningkat selepas mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal I-2019 atau tidak tumbuh pada kuartal II-2019 adalah Italia, Meksiko, Brasil, dan Singapura.
Belum lagi saat ini perlambatan ekonomi dunia yang dimotori negara-negara ekonomi maju dan masih belum terjerat jebakan resesi seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China, justru masih menjadi ancaman bagi motor-motor tersebut.
Semakin terlihatnya ancaman resesi dunia ditunjukkan oleh prediksi Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada pekan lalu yang menyampaikan hitungannya bahwa pertumbuhan ekonomi dunia dapat melambat menjadi 3%, turun dari prediksi sebelumnya 3,2%.
Dikhawatirkan, jika tiga negara ekonomi maju yang tersisa tersebut terpapar resesi, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan bisnis di Indonesia akan terganggu juga.
Di mana posisi Indonesia? Tampaknya kita juga belum dapat terlalu lega, karena dari sisi pertumbuhan ekonomi, negara kita tercinta ini masih tidak lepas dari jebakan zona pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2018 dan kuartal I-2019 mencatatkan angka pertumbuhan negatif, tepatnya -1,69% dan -0,52%.
Tidak hanya itu, angka penjualan barang oleh peritel juga menunjukkan kekhawatiran dan tekanan, meskipun belum di bawah titik nol, karena pertumbuhannya semakin melambat. Belum lagi jika dibandingkan dengan bulan pada tahun 2018 silam, semakin jelaslah perlambatannya.
Data dari angka Survei Penjualan Eceran itu dikeluarkan Bank Indonesia secara bulanan yang bertujuan mengetahui sumber tekanan inflasi dari sisi permintaan dan konsumsi masyarakat. Sejak Mei, penjualan ritel dibukukan 7,7%, lebih rendah daripada Mei 2018 yakni 8,3%. Lalu pada Juni, angka penjualan ritel -1,8%, lebih rendah dari 2,3% pada Juni 2018.
Karena itu sudah sepantasnya kita di dalam negeri melihat angka-angka ritel itu secara lebih serius dan sebentar mengesampingkan anggapan bahwa daya beli konsumtif orang Indonesia mampu mendukung angka konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Faktor tingkat konsumsi yang melambat itu dan iklim bisnis yang memburuk juga tidak menutup kemungkinan dapat merambat ke risiko debitur serta pertumbuhan kredit perbankan domestik.
Riset Bank Dunia (The World Bank) dalam Global Economic Risks and Implications for Indonesia meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya mencapai 4,9% pada 2020 dan terus menurun hingga 4,6% di 2022.
Laporan tersebut menyatakan bahwa perlambatan ekonomi global menimbulkan pengaruh terhadap Indonesia. Beberapa faktor yang mempengaruhi seperti di Amerika Serikat (AS) sudah mulai terlihat tanda resesi di pasar surat utang negara. Kemudian di Eropa mesin pertumbuhan melambat, sedangkan di China terjadi pelemahan.
Bank Dunia mengungkapkan, pertumbuhan di Indonesia sudah menunjukkan perlambatan dan bakal melemah lebih dalam di tengah perlambatan global. "Resesi global bisa melukai Indonesia," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih turun lebih dalam, karena lemahnya produktivitas dan pertumbuhan pekerja.
Sebagai pemimpin di industri BPD, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa dan Banten Tbk (Bank bjb/BJBR) menjadi salah satu BPD yang cukup kuat menghadapi isu resesi global.
Bank yang dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini terbukti telah melewati dua kali masa sulit perekonomian nasional di tahun 1998 dan 2008, yang bisa menjadi pengalaman dalam menghadapi ketidakpastian.
Likuditas Bank bjb cukup longgar yang tercermin di loan to deposits ratio (LDR) pada level 88,1%, dibandingkan dengan industri perbankan di level 94,66%.
Dengan likuiditas tersebut, BJBR mampu untuk meraih target pertumbuhan kredit 10-11% pada tahun ini serta mendukung pertumbuhan pada tahun depan.
Sementara itu capital adequacy ratio (CAR) bank bjb cukup optimal di level 16,62% dan akan bertambah seiring dengan rencana private placement dari sejumlah pemegang saham dengan nilai Rp 412 miliar yang akan dieksekusi tahun ini dan tahun depan juga, serta corporate action lainnya.
Hingga September 2019, Bank bjb mencatatkan total kredit Rp 81,48 triliun meningkat 9,8% di bandingkan dengan setahun sebelumnya. Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya penyaluran kredit pada kuartal III lebih bergairah.
![]() |
Bila dibedah lagi kredit konsumer dengan andalan kredit PNS masih mendominasi portofolio bank bjb. Nilainya mencapai Rp 55,52 triliun pada kuartal III, tumbuh 13% dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
Kredit untuk PNS memiliki outstanding Rp 40,18 triliun, tumbuh 6,2% dari setahun sebelumnya. NPL untuk kredit hanya di level 0,2% dan special mentions (kolektibilitas 2) di 2,3%
Hal tersebut mencerminkan bahwa kredit PNS memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit modal kerja maupun investasi di tengah ketidakpastian global maupun resesi dunia.
Kredit konsumer lainnya adalah kredit pensiunan yang tumbuh agresif 35,6% selama setahun menjadi Rp 15,33 triliun pada kuartal III. Kredit pensiunan ini bahkan memiliki NPL yang sangat rendah, di level 0,16% dengan kredit kolektibilitas 2 di 1,2%
Sementara itu, kredit mikro yang disalurkan Bank bjb mencapai Rp 5,76 triliun, naik 9,4%% dibandingkan dengan setahun lalu. Usaha mikro produktif terbukti menjadi segmen yang kuat dalam menghadapi beberapa kali krisis di Indonesia.
Selanjutnya, Bank bjb juga mencatatkan pertumbuhan 8,2% pada kredit properti menjadi Rp 6,18 triliun. Adapun kredit komersial mengalami penurunan 0,6% menjadi Rp 14,02 triliun.
Sementara itu DPK tumbuh 10% menjadi Rp 92,53 triliun dengan dana murah (CASA) mendominasi 51,5%. Sama seperti kredit penghimpunan DPK pada kuartal III lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang hanya tumbuh 7%.
Lebih rinci, tabungan tumbuh 6,9% menjadi Rp 18,02 triliun, diikuti deposito tumbuh 10,7% menjadi Rp 44,88 triliun. Adapun giro tumbuh 10,9%% menjadi Rp 29,63 triliun.
Faktor lain yang membuat bank ini kuat menghadapi ketidakpastian adalah tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada September 2019 berada pada level 1,75% secara gross dan 1,0% secara nett. Tingkat NPL ini sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan.
Bantalan lain dalam menghadapi ketidakpastian adalah Bank bjb juga telah meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sesuai PSAK 71. Tidak tangung-tangung bank yang dipimpin oleh Direktur Utama Yuddy Renaldi ini mencadangkan laba sekitar Rp 80 miliar perbulan. Total CKPN hingga akhir September 2019 sebesar Rp 1,37 triliun dengan coverage rasio sebesar 96%.
BPD serta perbankan lainnya, mengalihkan keuntungan ke CKPN untuk memenuhi regulasi. Dalam regulasi ini CKPN dibentuk ketika kredit disalurkan, bukan lagi ketika terjadi keterlambatan pembayaran seperti PSAK 51. Artinya, Bank harus membentuk CKPN untuk semua kredit, termasuk yang tergolong lancar, dan yang telah disalurkan sebelumnya.
Peningkatan CKPN Ini berperan menurunkan profitabilitas Bank bjb pada kuartal III-2019. Laba bersih bank only turun dari Rp 1,32 triliun menjadi Rp 1,11 triliun.
Selain itu penurunan NIM sebesar 83bps menjadi 5,69% juga berperan menurunkan laba. Hal ini seiring dengan kenaikan biaya dana dari 4,9% menjadi 5,4%. Namun, NIM bank bjb tersebut masih di atas rata-rata perbankan yang tercatat 4,9%.
Ibarat sedia payung sebelum hujan, peningkatan CKPN cenderung positif untuk menghadapi ketidakpastian. Bila dampak resesi benar-benar menghantam Indonesia, maka bank ini termasuk yang paling kuat menghadapi risiko-risiko yang ada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dob/dob) Next Article Top! Bank bjb (BJBR) Bagi Dividen Rp 104,55/ Saham
Most Popular