
Analisis
Tidak Ada Kabar Bagus, Rupiah Bisa Tembus Rp 14.100/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 November 2019 12:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (14/11/19), hingga menyentuh level Rp 14.100/US$.
Mata Uang Garuda sebenarnya membuka perdagangan dengan positif, menguat 0,05% ke level Rp 14.070/US$. Namun setelahnya malah melempem, terus tertekan hingga menyentuh Rp 14.100/US$ atau melemah 0,16% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang belum terjadi dalam waktu dekat menjadi penekan utama rupiah.
Hubungan antara AS-China bahkan terlihat semakin merenggang setelah CNBC International melaporkan bahwa AS berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi. Sebagai gantinya, AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Tekanan juga datang dari ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang mengindikasikan tidak akan lagi memangkas suku bunga. The Fed sudah memangkas suku bunga tiga kali di tahun ini masing-masing 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perekonomian AS memburuk.
Tekanan bagi rupiah juga datang dari Asia, Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data dari Asia tersebut memperburuk sentimen pelaku pasar yang menyulitkan rupiah untuk menguat hari ini.
Mata Uang Garuda sebenarnya membuka perdagangan dengan positif, menguat 0,05% ke level Rp 14.070/US$. Namun setelahnya malah melempem, terus tertekan hingga menyentuh Rp 14.100/US$ atau melemah 0,16% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang belum terjadi dalam waktu dekat menjadi penekan utama rupiah.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Tekanan juga datang dari ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang mengindikasikan tidak akan lagi memangkas suku bunga. The Fed sudah memangkas suku bunga tiga kali di tahun ini masing-masing 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perekonomian AS memburuk.
Tekanan bagi rupiah juga datang dari Asia, Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data dari Asia tersebut memperburuk sentimen pelaku pasar yang menyulitkan rupiah untuk menguat hari ini.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Most Popular