Jakarta, CNBC Indonesia - Emas Antam menjadi salah satu instrumen investasi yang sangat seksi bagi masyarakat Indonesia di sepanjang tahun ini.
Berdasarkan harga di gerai Butik Emas LM - Pulo Gadung yang kami peroleh dari situs logammulia milik Antam, harga tiap gram emas per akhir tahun 2018 berada di level Rp 667.000. Pada tanggal 25 Oktober 2019, harga emas Antam berada di level Rp 754.000/gram.
Nah, di sepanjang pekan ini ternyata emas Antam belum berhenti memberikan keuntungan bagi para investornya. Di sepanjang pekan ini, harga emas Antam melejit 1,33%. Per hari Jumat (1/11/2019), satu gram emas Antam dihargai senilai Rp 764.000.
Ada dua faktor utama yang mendongkrak harga emas Antam pada pekan ini. Pertama, kenaikan harga emas dunia. Melansir kuotasi dari Refintiv, harga emas di pasar spot dunia menguat 0,61% pada pekan ini, dari level US$ 1.504/troy ons menjadi US$ 1.514/troy ons.
Harga emas dunia terkerek naik oleh kehadiran hari besar bernama Diwali, sebuah festival cahaya yang diperingati setiap tahun dalam kalender Hindu. Hari besar ini utamanya dirayakan oleh umat Hindu yang berada di India. Pada tahun ini, Diwali jatuh pada tanggal 27 Oktober. Untuk diketahui, perayaan Diwali di India berlangsung selama berhari-hari.
Selama perayaan Diwali, para warga melakukan ritual pembersihan, mulai dari membersihkan dan menghias rumah, berkumpul untuk pesta-pesta khusus, bertukar hadiah, menyalakan kembang api, serta menyalakan banyak lampu minyak. Selama perayaan Diwali, masyarakat India diketahui sering membeli emas untuk kemudian diberikan sebagai hadiah ke orang lain.
Kehadiran Diwali sukses mengerek harga emas dunia kala sejatinya minat pelaku pasar untuk masuk ke instrumen berisiko seperti saham sedang begitu terasa. Padahal biasanya, kala minat pelaku pasar untuk masuk ke instrumen berisiko seperti saham sedang tinggi-tingginya, emas selaku safe haven akan ditinggalkan.
Sepanjang pekan ini, tiga indeks saham acuan utama di AS yakni Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite setidaknya membukukan apresiasi sebesar 1,4%.
Melansir halaman Provident Metals, India merupakan konsumen emas terbesar kedua di dunia setelah China. India disebut mengkonsumsi sekitar 849 metrik ton emas per tahunnya dan hampir semua konsumsi tersebut dipenuhi lewat impor.
[Gambas:Video CNBC]
Selain karena lonjakan harga emas di pasar dunia, harga emas Antam pada pekan ini juga terkerek oleh meredupnya minat pelaku pasar untuk masuk ke pasar saham tanah air.
Di sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia mencetak imbal hasil negatif yakni sebesar 0,7%. Posisi IHSG per penutupan hari Jumat kemarin berada di level 6.207,19.
Koreksi yang sebesar 0,7% tersebut menempatkan IHSG sebagai indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia. Pasalnya, tak ada satupun indeks saham di kawasan Asia yang mencetak koreksi sepanjang pekan ini.
Faktor domestik menjadi penyebab di balik lesunya kinerja pasar saham tanah air. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,13%.
"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya.
Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.
Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.
Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.
Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.
Dengan inflasi yang terus saja berada di bawah ekspektasi, timbul kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan.
Apalagi, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.
Merespons adanya indikasi yang kuat bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan, saham-saham konsumer pun dilego pelaku pasar dan menekan kinerja IHSG. Dalam dua perdagangan terakhir di pekan ini (Kamis & Jumat, 31 Oktober & 1 November), jika ditotal indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 1%.
TIM RISET CNBC INDONESIA