Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tampaknya berpeluang menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Tanda-tanda apresiasi rupiah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF).
Berikut kurs dolar AS di pasar NDF jelang penutupan pasar kemarin dibandingkan hari ini, Kamis (3/10/2019), mengutip data Refinitiv:
Periode | Kurs 3 Oktober (15:52 WIB) | Kurs 4 Oktober (07:13 WIB) |
1 Pekan | Rp 14.160,5 | Rp 14.134,5 |
1 Bulan | Rp 14.201,1 | Rp 14.183 |
2 Bulan | Rp 14.256,1 | Rp 14.245 |
3 Bulan | Rp 14.313,7 | Rp 14.300,5 |
6 Bulan | Rp 14.502,4 | Rp 14.483 |
9 Bulan | Rp 14.682,3 | Rp 14.663 |
1 Tahun | Rp 14.869,7 | Rp 14.858 |
2 Tahun | Rp 15.667,7 | Rp 15.693,1 |
Berikut kurs Domestic NDF (DNDF), yang kali terakhir diperbarui pada 3 Oktober pukul 15:54 WIB:
Periode | Kurs |
1 Bulan | Rp 14.207 |
3 Bulan | Rp 14.300 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot. Padahal NDF sebelumnya murni dimainkan oleh investor asing, yang mungkin kurang mendalami kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Bank Indonesia (BI) pun kemudian membentuk pasar DNDF. Meski tenor yang disediakan belum lengkap, tetapi ke depan diharapkan terus bertambah.
Dengan begitu, psikologis yang membentuk rupiah di pasar spot diharapkan bisa lebih rasional karena instrumen NDF berada di dalam negeri. Rupiah di pasar spot tidak perlu lalu membebek pasar NDF yang sepenuhnya dibentuk oleh pasar asing.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sentimen positif bagi rupiah hari ini sepertinya datang dari AS. Institute for Supply Management (ISM) mencatat Purchasing Managers' Index (PMI) jasa AS pada September berada di 52,6. Masih di atas 50, tetapi terendah sejak Agustus 2016.
Sektor jasa mewakili lebih dari dua pertiga ekonomi AS. Jika sektor ini melambat, maka perekonomian AS juga terancam kehilangan lajunya bahkan bukan tidak mungkin sampai terkontraksi alias tumbuh negatif.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan bahwa klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 28 September naik 4.000 menjadi 219.000. Artinya, pasar tenaga kerja pun sudah mulai 'batuk-batuk'.
Kemarin, ISM melaporkan PMI manufaktur AS mengalami kontraksi karena pada September nilainya adalah 47,8. Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.
Belum lagi ada risiko perang dagang AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing. Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun.
Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Aktivitas jasa melambat, manufaktur terkontraksi, plus perang dagang dengan Uni Eropa sangat berisiko membuat perekonomian AS tersendat, bahkan bukan tidak mungkin jatuh ke jurang resesi. Sejumlah pihak menyatakan bahwa AS bisa disebut sudah mengalami semi-resesi.
Oleh karena itu, pelaku pasar semakin yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal terus menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, kans penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1.5-1,75% pada bulan ini mencapai 90,3%. Padahal sepekan lalu kemungkinannya tidak sampai 50%, tepatnya 49,2%.
Penurunan suku bunga acuan yang hampir pasti terjadi membuat dolar AS semakin tidak seksi. Imbalan investasi di dolar AS, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi semakin tipis.
Oleh karena itu, arus modal berpotensi terus datang ke negara berkembang yang masih memberikan cuan menarik. Arus modal ini, terutama yang datang di pasar obligasi, bisa menjadi modal penguatan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA