Tanpa Ampun, Perang Dagang AS-Eropa Hajar IHSG 5 Hari

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 October 2019 16:37
Tanpa Ampun, Perang Dagang AS-Eropa Hajar IHSG 5 Hari
Foto: Gedung Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini, Kamis (3/10/2019), dengan koreksi sebesar 0,37% ke level 6.033,03, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak sekalipun merasakan manisnya zona hijau

Per akhir sesi satu, IHSG terkoreksi 0,7% ke level 6.012,995. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG menipis menjadi 0,28% ke level 6.038,53, menandai pelemahan selama lima hari beruntun. IHSG bahkan sempat meninggalkan level psikologis 6.000. Titik terendah IHSG pada hari ini berada di level 5.997,69.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,01%, indeks Straits Times melemah 0,56%, sementara indeks Hang Seng menguat 0,26%.

Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati
70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Korea Selatan diliburkan guna memperingati National Foundation Day. 

Perang dagang AS-Uni Eropa menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Kemarin (2/10/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk.

Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.

Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.

WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar. Melansir CNBC International, hingga kini belum jelas berapa nilai dari produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan bea masuk tambahan oleh AS, apakah itu US$ 7,5 miliar atau kurang dari itu.

Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.

Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Hawa Resesi Kian Terasa

Dengan langkah pemerintah AS yang galak terhadap Uni Eropa, peluang terjadinya resesi di AS tentu bertambah besar. Sebelumnya, kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi telah sangat terasa seiring dengan rilis data ekonominya yang begitu mengecewakan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Pada hari Selasa (1/10/2019), Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir. Perang dagang dengan China terbukti telah sangat menyakiti perekonomian AS.

Hal tersebut kemudian dikonfirmasi oleh rilis data tenaga kerja AS. Kemarin, penciptaan lapangan kerja (sektor non-pertanian) periode September 2019 diumumkan sebanyak 135.000 saja oleh Automatic Data Processing (ADP), di bawah konsensus yang sebanyak 140.000 serta jauh di bawah capaian periode Agustus 2019 yang sebanyak 157.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kalau kita mundur lebih jauh, sinyal bahwa AS akan masuk ke jurang resesi sejatinya sudah disuarakan oleh pasar obligasinya sendiri. Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Berdasarkan model yang digunakan oleh Federal Reserve Bank of New York dengan data per Agustus 2019, probabilitas terjadinya resesi di AS dalam periode 12 bulan ke depan sudah mencapai 37,9%.

Bahkan, Larry Summers selaku Profesor Universitas Harvard dan mantan menteri keuangan AS mengatakan peluang terjadinya resesi sebelum tahun 2021 telah berada di angka hampir 50%.

"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi, pastilah resesi di sana (jika benar terjadi) akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi perekonomian dunia.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Lagi dan Lagi, Saham Konsumer Dilego Investor

Saham-saham konsumer yang kembali melemah ikut membebani langkah IHSG pada hari ini. Pada penutupan perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi melemah tipis sebesar 0,01%, menandai koreksi selama lima hari beruntun. Jika ditotal, koreksi dalam lima hari tersebut adalah sebesar 2,26%.

Saham-saham konsumer terus dilego pelaku pasar seiring dengan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di posisi yang lemah.

Pada hari Selasa, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan.

Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.

Untuk diketahui, tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat juga sudah ditunjukkan oleh indikator lain. Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%. 

Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%. 

Namun begitu, analisis dari kami menunjukkan bahwa sejatinya secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Merah Lagi, 5 Hari Sudah IHSG Anjlok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular