
Analisis
Cobaan Tiada Henti Tapi Rupiah Bertahan, tapi Sampai Kapan?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 October 2019 12:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) masih cukup perkasa pada perdagangan Kamis (3/10/19) meski kondisi finansial global sedang dilanda kecemasan akan episode baru perang dagang.
Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 14.190/US$, setelahnya rupiah menguat tipis 0,04% di level Rp 14.185/US$.
Pergerakan rupiah bisa dikatakan seirama dengan mayoritas mata uang utama Asia lainnya, yang bergerak tipis-tipis.
Hingga awal pekan lalu, pasar finansial global masih terbawa euforia perundingan dagang AS-China, harapan akan adanya deal terus membuncah, yang membuat investor ceria.
Namun kini sentimen pelaku pasar kembali memburuk akibat potensi terjadinya perang dagang AS-Uni Eropa.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Jika dilihat dari nilai transaksi AS-Uni Eropa, ternyata lebih besar dari AS-China. Data Kantor Perwakilan Dagang AS menunjukkan impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.
Data Kantor Perwakilan Dagang AS Rabu kemarin merilis daftar yang akan dikenakan tarif mulai dari pesawat terbang sebesar 10 % hingga berbagai jenis makanan dan produk tekstil senilai 25% yang mulai berlaku efektif pada 18 Oktober.
Belum diketahui sejauh apa Uni Eropa akan melawan perang tarif impor Paman Sam, mengingat kondisi perekonomian Benua Biru sedang memburuk.
Meski kondisi global kembali panas, namun nyatanya rupiah masih cukup perkasa. Hal ini disebabkan para investor masuk ke obligasi negara-negara berkembang yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju.
Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun hingga pukul 11:37 WIB turun 0,8 basis poin ke level 7,267%. Penurunan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya ketika harga naik maka yield akan menurun. Kenaikan harga obligasi berarti permintaannya sedang tinggi.
Arus modal yang masuk ke pasar obligasi membuat rupiah masih cukup perkasa, tetapi sampai kapan?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 14.190/US$, setelahnya rupiah menguat tipis 0,04% di level Rp 14.185/US$.
Pergerakan rupiah bisa dikatakan seirama dengan mayoritas mata uang utama Asia lainnya, yang bergerak tipis-tipis.
Hingga awal pekan lalu, pasar finansial global masih terbawa euforia perundingan dagang AS-China, harapan akan adanya deal terus membuncah, yang membuat investor ceria.
Namun kini sentimen pelaku pasar kembali memburuk akibat potensi terjadinya perang dagang AS-Uni Eropa.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Jika dilihat dari nilai transaksi AS-Uni Eropa, ternyata lebih besar dari AS-China. Data Kantor Perwakilan Dagang AS menunjukkan impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.
Data Kantor Perwakilan Dagang AS Rabu kemarin merilis daftar yang akan dikenakan tarif mulai dari pesawat terbang sebesar 10 % hingga berbagai jenis makanan dan produk tekstil senilai 25% yang mulai berlaku efektif pada 18 Oktober.
Belum diketahui sejauh apa Uni Eropa akan melawan perang tarif impor Paman Sam, mengingat kondisi perekonomian Benua Biru sedang memburuk.
Meski kondisi global kembali panas, namun nyatanya rupiah masih cukup perkasa. Hal ini disebabkan para investor masuk ke obligasi negara-negara berkembang yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju.
Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun hingga pukul 11:37 WIB turun 0,8 basis poin ke level 7,267%. Penurunan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya ketika harga naik maka yield akan menurun. Kenaikan harga obligasi berarti permintaannya sedang tinggi.
Arus modal yang masuk ke pasar obligasi membuat rupiah masih cukup perkasa, tetapi sampai kapan?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular