
Atraktif! Rupiah Bak Roller Coaster di Kuartal III-2019
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 October 2019 16:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencatat pelemahan pada kuartal III-2019. Namun bukan berarti rupiah tidak pernag mengalami masa-masa indah.
Pada periode Juli-September 2019, rupiah melemah 0,46% secara point-to-point. Rupiah mengawali kuartal III dengan apik, pada 15 Juli sudah mencatat penguatan 1,7% dan mencapai titik terkuat satu tahun di level Rp 13.885/US$.
Namun setelahnya rupiah berbalik melemah hingga ke Rp 14.350/US$ pada 6 Agustus. Kemudian rupiah sempat perkasa lagi dan menguat ke Rp 13.980/US$ pada pertengahan September.
Di Asia, rupiah tidak melemah sendirian, semua mata uang utama Benua Kuning, kecuali baht Thailand, melemah melawan dolar AS. Jika melihat pergerakan mata uang lainnya, kinerja rupiah masih cukup bagus, melemah tapi masuk lima besar terbaik Asia.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang kuartal III-2019:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pergerakan ala roller coaster rupiah terlihat sangat atraktif, hal ini tidak lepas dari kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang 'berlomba' memangkas suku bunga.
BI terbilang agresif dalam memangkas suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate. Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega memangkas suku bunga tiga bulan berturut-turut masing-masing 25 basis poin (bps).
BI agresif dalam memangkas suku bunga karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan dari inflasi serta defisit transakasi berjalan (current account deficit/CAD) yang masih terjaga.
"Kebijakan tersebut konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah di bawah titik tengah sasaran dan imbal hasil investasi aset keuangan domestik yang tetap menarik, serta sebagai langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat," kata Perry dalam konferensi pers usai RDG edisi September di Jakarta.
Suku bunga yang terus diturunkan diharapkan akan mempercepat laju perekonomian Indonesia, dimana BI memperkirakan produk domestik bruto (PDB) di kisaran 5,1% di tahun ini. Hal ini tentunnya mendongkrak optimisme pelaku pasar PDB Indonesia bisa akan lebih tinggi lagi ke depannya.
Di sisi lain, The Fed kalah dibandingkan dengan BI. Ketua The Fed Jerome Powell memangkas suku bunga sebanyak dua kali di bulan Juli dan September, masing-masing 25 bps menjadi 1,75-2%. Namun, kalah menangnya bukan ditentukan siapa yang lebih banyak memangkas suku bunga, tetapi siapa yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dan semua akan terjawab dalam beberapa kuartal ke depan.
Berbeda dengan BI, The Fed memangkas suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) akibat melambatnya ekonomi Paman Sam, diiringi dengan rendahnya inflasi. Bahkan AS diprediksi akan mengalami resesi setelah terjadi inversi yield obligasi (Treasury) AS.
Pelambatan ekonomi dan rendahnya inflasi juga diakui oleh The Fed, tetapi untuk resesi masih dikesampingkan oleh bank sentral paling powerful di dunia ini.
Untuk merangsang roda perekonomian AS, The Fed akhirnya memangkas suku bunga sebanyak dua kali, dan menjadi u-turn kebijakan yang diambil setelah pada tahun lalu suku bunga dinaikkan secara agresif.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Selain kebijakan moneter BI dan The Fed, hubungan AS dengan China yang panas dingin juga membuat rupiah naik turun melawan dolar AS.
Kedua negara ini terlibat perang dagang dalam lebih dari satu tahun terakhir, yang berdampak pada pelambatan ekonomi global. AS dan China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, perang dagang kedua negara membuat arus perdagangan internasional menjadi tersendat.
Oleh karena itu, pelaku pasar sangat berharap kedua negara segera mencapai kesepakatan dagang agar perekonomian global kembali bangkit.
Pada periode Juli-September, hubungan kedua negara memang panas dingin. Perundingan dagang kedua negara berujung eskalasi perang dagang dengan saling menaikkan tarif impor.
Ketika hubungan kedua negara membaik, sentimen terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar akan meningkat, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi buruan pelaku pasar. Rupiah akan diuntungkan ketika kondisi tersebut terjadi. Sebaliknya jika hubungan kedua negara memanas, maka risk appetite akan menurun, dan rupiah tertekan.
Pada bulan Agustus lalu, China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.
Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.
AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Namun, perang dagang tersebut tidak berlangsung lama, kedua negara sepakat untuk menunda kenaikan tarif dan memulai kembali perundingan dagang AS-China pada 10-11 Oktober di Washington.
Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Hasil perundingan kedua negara tersebut akan menjadi salah satu penggerak utama rupiah melawan dolar di kuartal IV-2019.
(pap/pap) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada periode Juli-September 2019, rupiah melemah 0,46% secara point-to-point. Rupiah mengawali kuartal III dengan apik, pada 15 Juli sudah mencatat penguatan 1,7% dan mencapai titik terkuat satu tahun di level Rp 13.885/US$.
Namun setelahnya rupiah berbalik melemah hingga ke Rp 14.350/US$ pada 6 Agustus. Kemudian rupiah sempat perkasa lagi dan menguat ke Rp 13.980/US$ pada pertengahan September.
Di Asia, rupiah tidak melemah sendirian, semua mata uang utama Benua Kuning, kecuali baht Thailand, melemah melawan dolar AS. Jika melihat pergerakan mata uang lainnya, kinerja rupiah masih cukup bagus, melemah tapi masuk lima besar terbaik Asia.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepanjang kuartal III-2019:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pergerakan ala roller coaster rupiah terlihat sangat atraktif, hal ini tidak lepas dari kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang 'berlomba' memangkas suku bunga.
BI terbilang agresif dalam memangkas suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate. Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega memangkas suku bunga tiga bulan berturut-turut masing-masing 25 basis poin (bps).
BI agresif dalam memangkas suku bunga karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan dari inflasi serta defisit transakasi berjalan (current account deficit/CAD) yang masih terjaga.
"Kebijakan tersebut konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah di bawah titik tengah sasaran dan imbal hasil investasi aset keuangan domestik yang tetap menarik, serta sebagai langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat," kata Perry dalam konferensi pers usai RDG edisi September di Jakarta.
Suku bunga yang terus diturunkan diharapkan akan mempercepat laju perekonomian Indonesia, dimana BI memperkirakan produk domestik bruto (PDB) di kisaran 5,1% di tahun ini. Hal ini tentunnya mendongkrak optimisme pelaku pasar PDB Indonesia bisa akan lebih tinggi lagi ke depannya.
Di sisi lain, The Fed kalah dibandingkan dengan BI. Ketua The Fed Jerome Powell memangkas suku bunga sebanyak dua kali di bulan Juli dan September, masing-masing 25 bps menjadi 1,75-2%. Namun, kalah menangnya bukan ditentukan siapa yang lebih banyak memangkas suku bunga, tetapi siapa yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dan semua akan terjawab dalam beberapa kuartal ke depan.
Berbeda dengan BI, The Fed memangkas suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) akibat melambatnya ekonomi Paman Sam, diiringi dengan rendahnya inflasi. Bahkan AS diprediksi akan mengalami resesi setelah terjadi inversi yield obligasi (Treasury) AS.
Pelambatan ekonomi dan rendahnya inflasi juga diakui oleh The Fed, tetapi untuk resesi masih dikesampingkan oleh bank sentral paling powerful di dunia ini.
Untuk merangsang roda perekonomian AS, The Fed akhirnya memangkas suku bunga sebanyak dua kali, dan menjadi u-turn kebijakan yang diambil setelah pada tahun lalu suku bunga dinaikkan secara agresif.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Selain kebijakan moneter BI dan The Fed, hubungan AS dengan China yang panas dingin juga membuat rupiah naik turun melawan dolar AS.
Kedua negara ini terlibat perang dagang dalam lebih dari satu tahun terakhir, yang berdampak pada pelambatan ekonomi global. AS dan China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, perang dagang kedua negara membuat arus perdagangan internasional menjadi tersendat.
Oleh karena itu, pelaku pasar sangat berharap kedua negara segera mencapai kesepakatan dagang agar perekonomian global kembali bangkit.
Pada periode Juli-September, hubungan kedua negara memang panas dingin. Perundingan dagang kedua negara berujung eskalasi perang dagang dengan saling menaikkan tarif impor.
Ketika hubungan kedua negara membaik, sentimen terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar akan meningkat, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi buruan pelaku pasar. Rupiah akan diuntungkan ketika kondisi tersebut terjadi. Sebaliknya jika hubungan kedua negara memanas, maka risk appetite akan menurun, dan rupiah tertekan.
Pada bulan Agustus lalu, China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.
Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.
AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Namun, perang dagang tersebut tidak berlangsung lama, kedua negara sepakat untuk menunda kenaikan tarif dan memulai kembali perundingan dagang AS-China pada 10-11 Oktober di Washington.
Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Hasil perundingan kedua negara tersebut akan menjadi salah satu penggerak utama rupiah melawan dolar di kuartal IV-2019.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular