
Moody's: Korporasi RI Rentan Default, Ini Kata Sri Mulyani
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
01 October 2019 13:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan perusahaan Indonesia untuk berhati-hati merespons rilis Moody's Investors Service yang menyebutkan korporasi Indonesia termasuk yang paling rentan gagal bayar utang.
"(Menyikapi) laporan seperti itu setiap perusahaan kan harus betul-betul melihat dinamika lingkungan dimana mereka beroperasi...mereka juga harus meningkatkan kehati-hatian dari sisi apakah kegiatan korporasi mereka akan menghasilkan stream revenue," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan di acara Babak Final Olimpiade APBN Tahun 2019, Selasa (1/10/2019).
Sri Mulyani mengatakan situasi dalam situasi ekonomi global dan regional seperti sekarang ini, jika menambah utang harus bisa meningkatkan pendapatan. Jika tidak, akan menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan beban kewajiban yang sudah di bayar.
Oleh karena itu, lanjut Sri Mulyani, dalam situasi ekonomi yang diprediksi melemah seperti sekaran ini perusahaan harus memperhatikan sisi efisiensi untuk meningkatkan pendapatan. Efisiensi juga diharapkan bisa mengurangi beban biaya perusahaan.
"Saya rasa apapun yg disampaikan oleh lembaga-lembaga pemeringkat adalah suatu assesment dan peringatan yang baik untuk menjadi bahan bagi para pengambil keputusan di tingkat koporasi agar menjadi lebih waspada terhadap lingkungan yang sekarang ini dianggap berubah oleh lembaga-lembag peringkat tersebut," ujar Sri Mulyani.
Kemarin lembaga pemeringkat utang internasional Moody's Investor Service menyebut, perusahaan-perusahaan di Indonesia rentan terpapar risiko gagal bayar utang. Hal ini tercermin dari pendapatan perusahaan Indonesia yang kian menurun bisa mengurangi kemampuan korporasi Indonesia dalam mencicil kembali utang-utangnya.
Dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tersebut, Moody's menyebutkan Indonesia dan India merupakan dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.
Laporan itu meneliti risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, yakni Australia, China, Hong Kong, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Australia Singapura, Taiwan, dan Thailand, termasuk dua negara lainnya, yaitu India dan Indonesia.
Sebenarnya, rasio utang korporasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki angka terendah dibanding negara-negara lainnya. Demikikan pula rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) juga cukup aman.
Ini mengingat 47% utang korporasi di Indonesia memiliki skor rasio utang terhadap EBITDA berada di bawah 4. Angka ini jauh lebih baik dibanding 11 negara lainnya.
Hanya saja, Moody's mengingatkan profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil. Bahkan, sebanyak 40% utang korporasi di Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2.
Adapun, ICR dihitung dari EBITDA dibagi dengan beban bunga. Jika skor ICR rendah, maka terdapat dua indikasi. Yakni, pendapatan korporasi yang kian berkurang atau beban bunga yang bertumbuh lebih tinggi. Semakin rendah skor ICR menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utang pun ikut turun.
Dalam hal ini, risiko paling rendah dimiliki Jepang, di mana seluruh utang korporasinya memiliki angka ICR di atas 2. Diikuti, Korea Selatan, di mana sekitar 5 persen utang korporasinya memiliki ICR di bawah 2. Di sisi lain, India memiliki sekitar 40 persen perusahaan yang juga memiliki ICR di bawah 2.
(hps/hps) Next Article Gawat! Moody's Sebut Risiko Gagal Bayar Perusahaan RI Besar
"(Menyikapi) laporan seperti itu setiap perusahaan kan harus betul-betul melihat dinamika lingkungan dimana mereka beroperasi...mereka juga harus meningkatkan kehati-hatian dari sisi apakah kegiatan korporasi mereka akan menghasilkan stream revenue," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan di acara Babak Final Olimpiade APBN Tahun 2019, Selasa (1/10/2019).
Sri Mulyani mengatakan situasi dalam situasi ekonomi global dan regional seperti sekarang ini, jika menambah utang harus bisa meningkatkan pendapatan. Jika tidak, akan menimbulkan konsekuensi terhadap peningkatan beban kewajiban yang sudah di bayar.
Oleh karena itu, lanjut Sri Mulyani, dalam situasi ekonomi yang diprediksi melemah seperti sekaran ini perusahaan harus memperhatikan sisi efisiensi untuk meningkatkan pendapatan. Efisiensi juga diharapkan bisa mengurangi beban biaya perusahaan.
Kemarin lembaga pemeringkat utang internasional Moody's Investor Service menyebut, perusahaan-perusahaan di Indonesia rentan terpapar risiko gagal bayar utang. Hal ini tercermin dari pendapatan perusahaan Indonesia yang kian menurun bisa mengurangi kemampuan korporasi Indonesia dalam mencicil kembali utang-utangnya.
Dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tersebut, Moody's menyebutkan Indonesia dan India merupakan dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.
Laporan itu meneliti risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, yakni Australia, China, Hong Kong, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Australia Singapura, Taiwan, dan Thailand, termasuk dua negara lainnya, yaitu India dan Indonesia.
Sebenarnya, rasio utang korporasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki angka terendah dibanding negara-negara lainnya. Demikikan pula rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) juga cukup aman.
Ini mengingat 47% utang korporasi di Indonesia memiliki skor rasio utang terhadap EBITDA berada di bawah 4. Angka ini jauh lebih baik dibanding 11 negara lainnya.
Hanya saja, Moody's mengingatkan profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil. Bahkan, sebanyak 40% utang korporasi di Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2.
Adapun, ICR dihitung dari EBITDA dibagi dengan beban bunga. Jika skor ICR rendah, maka terdapat dua indikasi. Yakni, pendapatan korporasi yang kian berkurang atau beban bunga yang bertumbuh lebih tinggi. Semakin rendah skor ICR menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utang pun ikut turun.
Dalam hal ini, risiko paling rendah dimiliki Jepang, di mana seluruh utang korporasinya memiliki angka ICR di atas 2. Diikuti, Korea Selatan, di mana sekitar 5 persen utang korporasinya memiliki ICR di bawah 2. Di sisi lain, India memiliki sekitar 40 persen perusahaan yang juga memiliki ICR di bawah 2.
(hps/hps) Next Article Gawat! Moody's Sebut Risiko Gagal Bayar Perusahaan RI Besar
Most Popular