
Miris! Mata Uang Tetangga Menguat, Rupiah Terlemah di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah langsung bertekuk lutut di hadapan dolar AS pada awal perdagangan hari ini, Jumat (27/9/2019). Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah melemah 0,04% ke level Rp 14.180/dolar AS. Pada pukul 08:30 WIB, depresiasi rupiah sudah bertambah dalam menjadi 0,11% ke level Rp 14.190/dolar AS.
Rupiah melemah kala mayoritas mata uang negara-negara Asia sedang menguat melawan dolar AS. Jika dibandingkan dengan yang sama-sama melemah, depresiasi yang dibukukan rupiah merupakan yang paling dalam, menjadikannya mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.
Mayoritas mata uang negara-negara Asia menguat seiring dengan asa damai dagang AS-China yang kian terasa. Negosiasi dagang tingkat tinggi antara AS dan China di Washington akan digelar pada tanggal 10 dan 11 Oktober mendatang, seperti dilansir dari CNBC International yang mengutip tiga orang sumber yang mengetahui masalah tersebut. Salah seorang sumber menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He akan memimpin delegasi dari China.
Sebelum pemberitaan ini dipublikasikan oleh CNBC International, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Beijing telah membeli kedelai dan daging babi asal AS dalam jumlah yang cukup besar menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi antar kedua negara. Pengumuman ini merupakan sebuah perubahan sikap yang signifikan dari pihak China, mengingat pada bulan lalu Beijing memutuskan untuk menghentikan seluruh pembelian produk agrikultur asal AS.
Kesepakatan dagang bisa menjadi kunci untuk membawa perekonomian China, berikut perekonomian dunia, keluar dari tekanan. Menurut Beige Book yang dipublikasikan pada hari Rabu (25/9/2019), perekonomian China pada kuartal III-2019 berada di posisi terlemahnya selama tahun 2019. Lemahnya perekonomian China terjadi seiring dengan adanya kontraksi di sektor manufaktur dan jasa.
Menurut laporan tersebut, lemahnya perekonomian China pada saat ini utamanya disebabkan oleh aktivitas di sektor manufaktur yang tak bergairah. Laporan tersebut kemudian memaparkan bahwa penjualan dari perusahaan-perusahaan sektor manufaktur, laba bersih, volume penjualan, dan harga jual jatuh hingga dua digit jika dibandingkan dengan kuartal II-2019.
Sementara itu, sektor jasa tercatat terus-menerus membukukan pelemahan, dengan penjualan dan laba bersih pada kuartal III-2019 jatuh jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Rekrutmen karyawan melambat, mengindikasikan bahwa jika sektor manufaktur harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar, sektor jasa tak memiliki kapasitas untuk menyerapnya.
Untuk diketahui, Beige Book disusun berdasarkan wawancara dengan lebih dari 3.300 perusahaan di China. Periode wawancara untuk Beige Book edisi terbaru ini adalah pertengahan Agustus hingga pertengahan September.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Dolar AS Memang Masih Punya Energi
Rupiah melemah melawan dolar AS seiring dengan greenback yang memang memiliki energi untuk menguat. Kemarin (26/9/2019), pembacaan final untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal II-2019 diumumkan di level 2% (QoQ annualized), sama dengan pembacaan kedua dan dengan konsensus, seperti dilansir dari Forex Factory.
Untuk diketahui, pada pembacaan pertama pertumbuhan ekonomi AS diumumkan berada di level 2,1%, sebelum kemudian direvisi menjadi 2% pada pembacaan kedua.
Pertumbuhan ekonomi AS yang ternyata tak kembali direvisi turun pada pembacaan final lantas memantik kekhawatiran bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tak akan memangkas tingkat suku bunga acuan dengan agresif di masa depan. Apalagi, nada hawkish memang sebelumnya sudah terlontar dari mulut pejabat The Fed.
Sekedar mengingatkan, pada pekan lalu The Fed mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke rentang 1,75%-2%, menandai pemangkasan kedua di tahun ini pasca sebelumnya The Fed juga mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Juli.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian AS, serta rendahnya tekanan inflasi.
Namun, ada nada hawkish yang dilontarkan oleh Jerome Powell selaku Gubernur The Fed pada saat konferensi pers. Walau menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi, Powell menilai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan pekan lalu sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.
Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
“Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif,” kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.
“Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat.”
Seiring dengan timbulnya kekhawatiran bahwa The Fed akan bertindak hawkish, dolar AS praktis mendapatkan energi untuk menguat dan rupiah menjadi salah satu korbannya.
Lebih lanjut, pelaku pasar nampak bermain aman sembari mencermati kondisi politik di tanah air yang belakangan memanas, seiring dengan penolakan atas berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap kontroversial.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
