
Eropa Resesi & Ekonomi AS Loyo, IHSG Bakal Merah Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin, Selasa (25/9/2019) kembali melanjutkan pelemahan dengan ditutup anjlok 68 poin atau 1,11% pada level 6.137. Dengan demikian IHSG telah melemah selama empat hari berturut-turut.
Untuk perdagangan hari ini Rabu (25/9/2019), Tim Riset CNBC Indonesia memprediksi IHSG akan melemah. Rentang level pergerakannya diperkirakan berada pada level 6.075 hingga 6.150.
Secara teknikal, IHSG sedang tertekan karena bergerak di bawah rata-rata nilainya dalam 5 hari hari terakhir perdagangannya (moving average/MA5). Pola tiga awan hitam (three black crows) terbukti membawa IHSG jatuh cukup dalam hingga ditutup dengan pola awan hitam (black candle).
Hal ini diperkuat dengan indikator teknikal Moving Average Convergence/Divergence (MACD) yang bergerak di wilayah negatif dan membentuk pola death cross yang menandakan kecenderungan bergerak turun.
![]() |
Dari bursa saham Amerika Serikat (AS), tiga indeks utama kemarin ditutup dengan koreksi. Indeks S&P 500 negatif 0,84%, sedangkan Nasdaq Composite anjlok 1,46%, dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,53%.
Wall Street babak belur karena Presiden AS sedang mendapat dorongan pemakzulan dari DPR AS. Ketua fraksi Partai Demokrat AS Nancy Pelosi, mengatakan DPR akan melakukan penyelidikan formal apakah Trump harus dimakzulkan, apakah tindakan yang diambil oleh presiden Trump telah serius melanggar Konstitusi.
Trump dicurigai meminta bantuan Ukraina untuk mencoreng saingannya yakni mantan Wakil Presiden AS Joe Biden, sebagai calon presiden yang paling terdepan dari Partai Demokrat untuk Pemilu tahun 2020 mendatang.
Dari dalam negeri, investor asing kemarin membukukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 993,94 miliar di pasar reguler bursa. Sedangkan di keseluruhan pasar, yakni pasar negosiasi dan pasar reguler, jumlah net sell yang dicatatkan oleh investor asing sebesar Rp 773,35 miliar.
Seperti diketahui, aksi demo makin massif dilakukan. Tidak hanya Mahasiswa, berbagai elemen masyarakat sipil ikut menyuarakan ketidakpuasannya terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
Sentimen paling sensitif bagi pasar saham global hari ini adalah terkait potensi resesi di Eropa. Para pengamat sepakat resesi mungkin lebih rentan terjadi di zona Eropa. Resesi adalah kontraksi atau pertumbuhan negatif dalam dua kuartal dalam satu tahun yang sama.
Hal ini setidaknya diutarakan Mario Draghi, pemimpin Bank Sentral Eropa (ECB) yang sebentar lagi akan meninggalkan lembaga moneter itu 1 November nanti. Bahkan, dalam pernyataannya ia menyebut zona Eropa menghadapi "kemelorotan ekonomi" bahkan jauh yang sebelumnya diperkirakan.
Draghi menyatakan hal tersebut setelah menyaksikan pelemahan manufaktur di Jerman. Perlu diketahui, Jerman adalah ekonomi terbesar di Eropa yang menyumbang 17,8% PDB benua itu.
Purchasing managers index (PMI) untuk Eropa jeblok ke 50,4 di September, di bawah perkiraan awal dan PMI September 51,9 di Agustus. Angka 50 menjadi ambang batas PMI, di mana di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas sementara di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau aktivitas yang memburuk.
Namun khusus untuk Jerman, PMI manufaktur turun di September menjadi 41,2 dari bulan lalu 43,5. Ini angka terburuk sejak pertengahan tahun 2009 seiring dengan melemahnya industri pembuatan mobil.
Perang dagang antara AS dan China menjadi penyebab PMI Jerman terpuruk. Perang dagang dua negara penggerak ekonomi dunia itu menyebabkan ketidakpastian global.
Geopolitik yang tidak stabil, seperti isu tidak jelasnya perjanjian perdagangan mendekati keluarnya Inggris dari Eropa (Brexit), Oktober nanti, juga menjadi penyebab. Ini telah menghentikan bank mencapai target inflasi meskipun fakta pengangguran di wilayah tersebut jatuh ke level terendah selama satu dekade.
Brexit pasalnya membuat Inggris kehilangan hak atas istimewa perdagangan dengan negara Eropa. Inggris harus mengikuti aturan WTO dalam perdagangan.
Karenanya kesepakatan baru harus dibuat. Mengingat 10 besar ekspor negara itu, selain AS dan China, didominasi negara-negara Eropa.
Namun sayangnya, kecenderungan saat ini adalah Inggris akan keluar Inggris tanpa kesepakatan (no deal Brexit). Ekonom memprediksi Inggris bisa resesi karena tersendatnya rantai ekonomi.
"Keseimbangan risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap miring ke bawah," ujar Draghi di depan parlemen Eropa sebagaimana ditulis The Financial Times.
Menurut ekonom Commerzbak Jerman Ralp Solveen apa yang diungkapkan Draghi mengkonfirmasi resesi. "Tokoh ini mengkonfirmasi satu kasus penting: bahwa tidak akan ada lagi kemajuan untuk ekonomi kita tahun ini. Di sisi lain, risiko dari resesi meningkat," ujarnya.
Hal senada juga dikatakan pemimpin Bank Belanda ING Hans Wijers. "Kami sudah dekat, dekat dengan resesi," kata Wijers sebagaimana dikutip dari CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!