
Analisis
Awas! Sudah Cicipi Rp 14.100/US$, Rupiah Bisa Melemah Lagi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 September 2019 12:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Situasi eksternal dan dalam negeri yang serba tidak pasti membuat rupiah sulit terapresiasi.
Pada Selasa (24/9/2019) pukul 12:44 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.099. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih mampu menguat tipis 0,04%. Namun itu tidak bertahan lama, karena rupiah langsung masuk jalur merah. Bahkan rupiah sempat berada di kisaran Rp 14.100/US$.
Dari sisi eksternal, ketidakpastian ekonomi global menjadi beban bagi aset-aset berisiko. Di Eropa, angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Sementara di AS, peluang menuju resesi semakin tinggi. Survei yang dilakukan Universitas Duke terhadap 225 Chief Financial Officer (CFO) perusahaan di AS menunjukkan bahwa 53% responden meyakini Negeri Paman Sam akan mengalami resesi pada akhir kuartal III-2020.
Survei dari Bank of Amerika Merrill Lynch Global Fund Manager menunjukkan, 38% dari 100 manajer perusahaan yakin resesi bakal terjadi. Sementara itu jajak pendapat yang dilakukan ABC News/Washington Post awal bulan lalu menyebutkan enam dari 10 warga AS percaya resesi akan datang tahun depan.
Sementara dari dalam negeri, salah satu sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar adalah gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Selasa (24/9/2019) pukul 12:44 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.099. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih mampu menguat tipis 0,04%. Namun itu tidak bertahan lama, karena rupiah langsung masuk jalur merah. Bahkan rupiah sempat berada di kisaran Rp 14.100/US$.
Dari sisi eksternal, ketidakpastian ekonomi global menjadi beban bagi aset-aset berisiko. Di Eropa, angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman versi Markit periode September ada di 41,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5.
Sementara PMI gabungan berada di 49,1. Juga turun dibandingkan Agustus yang sebesar 51,7.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, berarti dunia usaha sedang optimistis sehingga akan melakukan ekspansi. Namun kalau di bawah 50 ya kebalikannya.
Sementara di Prancis, pembacaan awal PMI manufaktur untuk September adalah 50,3. Masih optimistis, angkanya di atas 50. Namun optimisme itu sedikit pudar karena pada Agustus angkanya adalah 51,1.
Demikian pula untuk PMI gabungan, yang berada di 51,3 pada September. Dunia usaha Negeri Anggur memang masih pede, tetapi tingkat kepedean itu turun karena bulan sebelumnya masih 52,9.
Sementara di AS, peluang menuju resesi semakin tinggi. Survei yang dilakukan Universitas Duke terhadap 225 Chief Financial Officer (CFO) perusahaan di AS menunjukkan bahwa 53% responden meyakini Negeri Paman Sam akan mengalami resesi pada akhir kuartal III-2020.
Survei dari Bank of Amerika Merrill Lynch Global Fund Manager menunjukkan, 38% dari 100 manajer perusahaan yakin resesi bakal terjadi. Sementara itu jajak pendapat yang dilakukan ABC News/Washington Post awal bulan lalu menyebutkan enam dari 10 warga AS percaya resesi akan datang tahun depan.
Sementara dari dalam negeri, salah satu sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar adalah gelombang aksi massa yang terjadi di berbagai kota sejak kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil menyuarakan aspirasi seputar penolakan terhadap RUU KUHP, RUU Pertanahan, pelemahan KPK, kebakaran hutan dan lahan, penanganan konflik Papua, dan sebagainya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular