
Duh! Blue Chip & IPO di RI Juga Kalah Saing dengan Vietnam Cs
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
10 September 2019 13:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja bursa saham domestik pada 2019 kurang memuaskan tahun ini. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat hanya tumbuh 2,13% secara year to date hingga kemarin.
Demikian pula dengan indeks saham blue chip Indonesia atau yang dikenal dengan LQ45 yang tercatat hanya tumbuh 0,74% pada periode yang sama. Ini menunjukkan investor takut untuk membeli saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditengah ketidakpastian atas masa depan ekonomi global.
Penyebabnya adalah friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang berdampak luas terhadap ekonomi global.
Tim Riset CNBC Indonesia mencoba merangkum kinerja dari indeks utama dengan konstituen saham indeks blue chip di Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Negara-negara tersebut dipilih karena dalam zona yang sama dan punya karakteristik yang hampir saham, meskipun ukuran berbeda.
Dari segi kapitalisasi pasar per 9 September 2019, tercatat indeks Straits Times paling unggul dengan kapitalisasi pasar mencapai SGD 545,1 miliar atau setara Rp 5.5541,8 triliun (asumsi kurs Rp 10.166,57/SGD). Kemudian diikuti oleh indeks SET 50 dan indeks LQ45 dengan nilai kapitalisasi masing-masing Rp 5.502,94 triliun (asumsi kurs Rp 1.110,57/THB) dan Rp 4.724,05 triliun.
Sementara itu, indeks yang paling bontot adalah indeks VNI30 dengan total kapitalisasi pasar hanya mencapai VND 1.782,54 triliun atau setara Rp 1.080,69 triliun (asumsi kurs Rp 0,61/VND).
Lebih lanjut, meskipun indeks LQ45 masuk posisi teratas dari segi kapitalisasi pasar, tapi kalah dari sisi perolehan imbal hasil.
Dari tabel di atas terlihat bahwa hingga 9 September 2019 (sepanjang tahun berjalan/YTD) indeks PSEI dapat membukukan imbal hasil mencapai 6,62%, diikuti oleh indeks SET 50 yang menguat 6,28%, dan indeks VNI30 yang naik 3,58%.
Kedua indeks paling likuid Indonesia, yakni LQ45 dan IDX30 justru memenuhi peringkat terbawah karena hanya mencatatkan kenaikan masing-masing 0,74% dan 0,23%.
Di lain pihak, jika dianalisa berdasarkan perolehan price-earning-ratio (PE), indeks Straits Times terbilang paling murah dengan skor PE di level 11,4 kali. Sementara itu, IDX30 bisa dikatakan cukup mahal dengan perolehan PE sebesar 18,64 kali.
Sebagai informasi, PE adalah salah satu bentuk analisis fundamental yang menggambarkan ekspektasi investor terhadap return (imbal hasil). PE emiten dikatakan tinggi (overvalued) jika nilainya lebih besar dibanding PER Industri, dan sebaliknya untuk PER rendah.
Berdasarkan Analisa di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pasar keuangan Indonesia masih kalah seksi, terutama jika dibandingkan dengan pasar saham Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Ini mempertegas, pemodal asing tak banyak yang menempatkan dananya pada saham-saham blue chip di Indonesia. Fenomena ini hampir saham seperti yang terjadi pada relokasi pabrik-pabrik perusahaan China ke kawasan Asia Tenggara.
Bank Dunia mencatat dari 33 perusahaan Negeri Tiongkok yang merelokasi pabrik mereka, 23 perusahaan pindah ke Vietnam, dan selebihnya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Selain itu, di tahun 2017, Bank Dunia juga mencatat bahwa 73 perusahaan Jepang juga sebelumnya sudah memindahkan pabrik mereka ke kawasan Asia Tenggara, di mana mayoritas pindah ke Vietnam dan Thailand.
Indonesia kurang dilirik oleh Jepang dan China salah satunya karena pajak korporasi yang relatif tinggi dan proses perizinan yang memakan waktu sangat lama. Jika di pasar riil kalah, di pasar keuangan, terutama pasar saham Indonesia juga kalah berkompetisi.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Tidak hanya itu rendahnya minat perusahaan juga terlihat dari nilai dana yang diraih dari aksi Initial Public Offering (IPO). Pasar keuangan dengan perolehan IPO yang tinggi artinya berhasil menarik perusahaan dengan nilai raksasa untuk bergabung.
Tercatat, sepanjang tahun lalu dana IPO yang terhimpun di Indonesia senilai Rp 12,56 triliun, lebih kecil dibandingkan dengan dana raihan IPO di Vietnam yang mencapai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 37 triliun.
Padahal, jumlah perusahaan yang melantai di Vietnam pada tahun lalu tercatat hanya sebanyak lima perusahaan, sementara di Indonesia ada 56. Ini artinya perusahaan-perusahaan baru yang masuk HOSE adalah perusahaan-perusahaan besar.
Bahkan riset Baker McKenzie dan Oxford Economics memprediksi Vietnam akan terus memimpin jumlah raihan dana IPO hingga tahun 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Investor Saham Panik Dihantui Virus Corona
Demikian pula dengan indeks saham blue chip Indonesia atau yang dikenal dengan LQ45 yang tercatat hanya tumbuh 0,74% pada periode yang sama. Ini menunjukkan investor takut untuk membeli saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditengah ketidakpastian atas masa depan ekonomi global.
Penyebabnya adalah friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang berdampak luas terhadap ekonomi global.
Tim Riset CNBC Indonesia mencoba merangkum kinerja dari indeks utama dengan konstituen saham indeks blue chip di Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Negara-negara tersebut dipilih karena dalam zona yang sama dan punya karakteristik yang hampir saham, meskipun ukuran berbeda.
Negara | Indeks | Keterangan |
Singapura | Straits Times | Top 30 perusahaan yang terdaftar di bursa saham Singapura |
Thailand | SET 50 | Top 50 perusahaan dengan kapitalisasi dan likuiditas tertinggi |
Malaysia | KLCI | Top 30 perusahaan terbesar di bursa Malaysia |
Filipina | PSEI | Top 30 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar |
Vietnam | VNI30 | Top 30 perusahaan dengan kapitalisasi dan likuiditas tertinggi |
Dari segi kapitalisasi pasar per 9 September 2019, tercatat indeks Straits Times paling unggul dengan kapitalisasi pasar mencapai SGD 545,1 miliar atau setara Rp 5.5541,8 triliun (asumsi kurs Rp 10.166,57/SGD). Kemudian diikuti oleh indeks SET 50 dan indeks LQ45 dengan nilai kapitalisasi masing-masing Rp 5.502,94 triliun (asumsi kurs Rp 1.110,57/THB) dan Rp 4.724,05 triliun.
Sementara itu, indeks yang paling bontot adalah indeks VNI30 dengan total kapitalisasi pasar hanya mencapai VND 1.782,54 triliun atau setara Rp 1.080,69 triliun (asumsi kurs Rp 0,61/VND).
Lebih lanjut, meskipun indeks LQ45 masuk posisi teratas dari segi kapitalisasi pasar, tapi kalah dari sisi perolehan imbal hasil.
Dari tabel di atas terlihat bahwa hingga 9 September 2019 (sepanjang tahun berjalan/YTD) indeks PSEI dapat membukukan imbal hasil mencapai 6,62%, diikuti oleh indeks SET 50 yang menguat 6,28%, dan indeks VNI30 yang naik 3,58%.
Kedua indeks paling likuid Indonesia, yakni LQ45 dan IDX30 justru memenuhi peringkat terbawah karena hanya mencatatkan kenaikan masing-masing 0,74% dan 0,23%.
Di lain pihak, jika dianalisa berdasarkan perolehan price-earning-ratio (PE), indeks Straits Times terbilang paling murah dengan skor PE di level 11,4 kali. Sementara itu, IDX30 bisa dikatakan cukup mahal dengan perolehan PE sebesar 18,64 kali.
Sebagai informasi, PE adalah salah satu bentuk analisis fundamental yang menggambarkan ekspektasi investor terhadap return (imbal hasil). PE emiten dikatakan tinggi (overvalued) jika nilainya lebih besar dibanding PER Industri, dan sebaliknya untuk PER rendah.
Berdasarkan Analisa di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pasar keuangan Indonesia masih kalah seksi, terutama jika dibandingkan dengan pasar saham Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Ini mempertegas, pemodal asing tak banyak yang menempatkan dananya pada saham-saham blue chip di Indonesia. Fenomena ini hampir saham seperti yang terjadi pada relokasi pabrik-pabrik perusahaan China ke kawasan Asia Tenggara.
Bank Dunia mencatat dari 33 perusahaan Negeri Tiongkok yang merelokasi pabrik mereka, 23 perusahaan pindah ke Vietnam, dan selebihnya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Selain itu, di tahun 2017, Bank Dunia juga mencatat bahwa 73 perusahaan Jepang juga sebelumnya sudah memindahkan pabrik mereka ke kawasan Asia Tenggara, di mana mayoritas pindah ke Vietnam dan Thailand.
Indonesia kurang dilirik oleh Jepang dan China salah satunya karena pajak korporasi yang relatif tinggi dan proses perizinan yang memakan waktu sangat lama. Jika di pasar riil kalah, di pasar keuangan, terutama pasar saham Indonesia juga kalah berkompetisi.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Tidak hanya itu rendahnya minat perusahaan juga terlihat dari nilai dana yang diraih dari aksi Initial Public Offering (IPO). Pasar keuangan dengan perolehan IPO yang tinggi artinya berhasil menarik perusahaan dengan nilai raksasa untuk bergabung.
Tercatat, sepanjang tahun lalu dana IPO yang terhimpun di Indonesia senilai Rp 12,56 triliun, lebih kecil dibandingkan dengan dana raihan IPO di Vietnam yang mencapai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 37 triliun.
Padahal, jumlah perusahaan yang melantai di Vietnam pada tahun lalu tercatat hanya sebanyak lima perusahaan, sementara di Indonesia ada 56. Ini artinya perusahaan-perusahaan baru yang masuk HOSE adalah perusahaan-perusahaan besar.
Bahkan riset Baker McKenzie dan Oxford Economics memprediksi Vietnam akan terus memimpin jumlah raihan dana IPO hingga tahun 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Investor Saham Panik Dihantui Virus Corona
Most Popular