
Rupiah Bimbang Karena Inflasi dan Perang Dagang
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2019 09:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak labil di perdagangan pasar spot hari ini. Namun pergerakan rupiah tipis-tipis saja, tanda investor sedang bimbang.
Pada Senin (2/9/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.181 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Selepas pembukaan pasar, rupiah seperti enggan bergerak. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.185, di mana rupiah melemah 0,04%. Pergerakan yang tipis sekali.
Seperti halnya rupiah, mata uang utama Asia juga belum menemukan bentuk permainan terbaik. Mata uang Benua Kuning bergerak variatif di hadapan dolar AS, pergerakannya juga relatif terbatas.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:06 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Hari ini memang kebimbangan tengah melanda pasar keuangan global. Di satu sisi, ada sentimen negatif besar bernama perang dagang AS-China.
Mulai 1 September, AS mulai mengenakan bea masuk 15% untuk importasi produk asal China senilai US$ 125 miliar di antaranya smartwatch, televisi layar datar, dan alas kaki. Sebelumnya, total produk China yang sudah terkena bea masuk di AS mencapai US$ 250 juta.
China tidak mau kalah. Per kemarin, Negeri Tirai Bambu mengenakan bea masuk 5-10% untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 75 miliar. Bea masuk baru ini mencakup 1.717 produk, termasuk minyak mentah. Ini adalah kali pertama minyak asal AS dibebani bea masuk di China.
Meski masih saling 'balas pantun', tetapi Presiden AS Donald Trump menegaskan dialog dagang kedua negara tetap akan berlangsung bulan ini. Washington mengakui sudah berbicara dengan Beijing untuk menyiapkan pertemuan.
"Kami sudah berbicara dengan China, pertemuan sudah terjadwal. Saya rasa pertemuan September ini akan terjadi, belum ada pembatalan," tegasnya, seperti dikutip dari Reuters.
Menurut Trump, bea masuk untuk produk China tidak akan membebani dunia usaha di Negeri Adidaya. Sebab masalahnya bukan perang dagang, tetapi kebijakan moneter ketat dari Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
"Tidak ada masalah dengan bea masuk, masalah kita adalah The Fed. Mereka kebingungan!" cuit Trump melalui Twitter.
Di satu sisi, ada pengenaan bea masuk yang menjadi babak baru perang dagang AS-China. Namun di sisi lain rencana dialog dagang kedua negara juga masih terjadwal.
Perkembangan ini sepertinya membuat investor agak bimbang, karena sentimen negatif dan positif hadir bersamaan. Daripada bingung dan bimbang, lebih baik main aman dulu deh...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, investor juga dilanda kegalauan karena menunggu rilis data inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) berada di 0,16%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,54% dan inflasi inti tahunan adalah 3,18%.
Jika realisasi Agustus nanti sesuai ekspektasi, maka ada perlambatan laju inflasi dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MoM berada di 0,31%, kemudian inflasi YoY adalah 3,32% dan inflasi inti YoY sebesar 3,18%.
Artinya, peluang untuk penurunan suku bunga acuan lebih lanjut semakin terbuka. Meski Bank Indonesia (BI) sudah dua kali menurunkan suku bunga acuan, tetapi kemungkinan penurunan berikutnya masih terbuka.
Oleh karena itu, data inflasi menjadi penting untuk menentukan arah kebijakan moneter ke depan. Tidak heran investor dibuat bimbang sembari menantikan data ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (2/9/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.181 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Selepas pembukaan pasar, rupiah seperti enggan bergerak. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.185, di mana rupiah melemah 0,04%. Pergerakan yang tipis sekali.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:06 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Hari ini memang kebimbangan tengah melanda pasar keuangan global. Di satu sisi, ada sentimen negatif besar bernama perang dagang AS-China.
Mulai 1 September, AS mulai mengenakan bea masuk 15% untuk importasi produk asal China senilai US$ 125 miliar di antaranya smartwatch, televisi layar datar, dan alas kaki. Sebelumnya, total produk China yang sudah terkena bea masuk di AS mencapai US$ 250 juta.
China tidak mau kalah. Per kemarin, Negeri Tirai Bambu mengenakan bea masuk 5-10% untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 75 miliar. Bea masuk baru ini mencakup 1.717 produk, termasuk minyak mentah. Ini adalah kali pertama minyak asal AS dibebani bea masuk di China.
Meski masih saling 'balas pantun', tetapi Presiden AS Donald Trump menegaskan dialog dagang kedua negara tetap akan berlangsung bulan ini. Washington mengakui sudah berbicara dengan Beijing untuk menyiapkan pertemuan.
"Kami sudah berbicara dengan China, pertemuan sudah terjadwal. Saya rasa pertemuan September ini akan terjadi, belum ada pembatalan," tegasnya, seperti dikutip dari Reuters.
Menurut Trump, bea masuk untuk produk China tidak akan membebani dunia usaha di Negeri Adidaya. Sebab masalahnya bukan perang dagang, tetapi kebijakan moneter ketat dari Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
"Tidak ada masalah dengan bea masuk, masalah kita adalah The Fed. Mereka kebingungan!" cuit Trump melalui Twitter.
Di satu sisi, ada pengenaan bea masuk yang menjadi babak baru perang dagang AS-China. Namun di sisi lain rencana dialog dagang kedua negara juga masih terjadwal.
Perkembangan ini sepertinya membuat investor agak bimbang, karena sentimen negatif dan positif hadir bersamaan. Daripada bingung dan bimbang, lebih baik main aman dulu deh...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, investor juga dilanda kegalauan karena menunggu rilis data inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) berada di 0,16%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,54% dan inflasi inti tahunan adalah 3,18%.
Jika realisasi Agustus nanti sesuai ekspektasi, maka ada perlambatan laju inflasi dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MoM berada di 0,31%, kemudian inflasi YoY adalah 3,32% dan inflasi inti YoY sebesar 3,18%.
Artinya, peluang untuk penurunan suku bunga acuan lebih lanjut semakin terbuka. Meski Bank Indonesia (BI) sudah dua kali menurunkan suku bunga acuan, tetapi kemungkinan penurunan berikutnya masih terbuka.
Oleh karena itu, data inflasi menjadi penting untuk menentukan arah kebijakan moneter ke depan. Tidak heran investor dibuat bimbang sembari menantikan data ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular