
Sempat Melesat Lebih dari 1%, Harga Minyak Turun Lagi
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
29 August 2019 09:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sempat melonjak lebih dari 1%, harga minyak mentah dunia kembali terkoreksi. Ancaman resesi yang kian nyata membuat pelaku pasar takut akan penurunan permintaan minyak global.
Pada perdagangan hari Kamis (29/8/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober melemah 0,58% ke level US$ 60,14/barel.
Adapun harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) kontrak pengiriman Oktober turun 0,29% menjadi US$ 55,62/barel.
Sementara di akhir sesi perdagangan kemarin (28/9/2019) harga Brent dan WTI melonjak masing-masing sebesar 1,65% dan 1,55%.
Lonjakan harga minyak yang terjadi kemarin disebabkan adanya penurunan stok minyak mentah di Amerika Serikat (AS).
US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan stok minyak mentah Negeri Paman Sam untuk minggu yang berakhir pada 23 Agustus 2019 turun sebanyak 10 juta barel.
Angka penurunan tersebut jauh lebih dalam ketimbang prediksi konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 2,1 juta barel.
Pada saat yang sama, stok bensin juga turun hingga 2,1 juta barel. Juga lebih dalam ketimbang prediksi konsensus yang sebesar 388 ribu barel.
Berdasarkan keterangan EIA, penurunan stok diakibatkan oleh adanya perlambatan impor.
Menurut keterangan direktur pelaksana Valour Markets, Stephen Innes, penurunan stok minyak di AS menjadi konfirmasi atas efektifnya pemangkasan pasokan yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dikutip dari Reuters.
Sebagaimana yang telah diketahui, OPEC bersama sekutunya termasuk Rusia telah sepakat untuk terus mempertahankan pangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel/hari hingga Maret 2020 mendatang.
Kuota pemangkasan dihitung dari tingkat produksi acuan bulan Oktober 2018.
Awal bulan ini Arab Saudi juga telah berkomitmen untuk menekan ekspor minyak agar terus berada di level 7 juta barel/hari di bulan Agustus dan September untuk menyikapi risiko perlambatan ekonomi global.
OPEC dan sekutunya dijadwalkan menggelar pertemuan pada 12 September mendatang untuk membahas perkembangan pasar minyak global.
Sementara itu harga minyak juga masih mendapat tekanan dari kekhawatiran akan perlambatan ekonomi yang sulit untuk diredam.
Kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps. Lantas, gaung resesi sudah semakin keras disuarakan oleh pasar obligasi AS.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Sementara itu ancaman resesi juga datang dari Benua Biru.
Kemarin, Ratu Elizabeth memberikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.
Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan depan hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Pada hari Selasa, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.
Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Resesi tentu saja bukan kabar baik di pasar energi, termasuk minyak mentah. Terlebih yang terancam resesi adalah AS dan Inggris, negara dengan kekuatan ekonomi nomor 1 dan 5 di dunia.
Dampaknya sudah tentu akan merembet kemana-mana. Perlambatan ekonomi global akan menyeret permintaan minyak lebih rendah lagi. Alhasil keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi timpang dan membebani harga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Pada perdagangan hari Kamis (29/8/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober melemah 0,58% ke level US$ 60,14/barel.
Adapun harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) kontrak pengiriman Oktober turun 0,29% menjadi US$ 55,62/barel.
Lonjakan harga minyak yang terjadi kemarin disebabkan adanya penurunan stok minyak mentah di Amerika Serikat (AS).
US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan stok minyak mentah Negeri Paman Sam untuk minggu yang berakhir pada 23 Agustus 2019 turun sebanyak 10 juta barel.
Angka penurunan tersebut jauh lebih dalam ketimbang prediksi konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 2,1 juta barel.
Pada saat yang sama, stok bensin juga turun hingga 2,1 juta barel. Juga lebih dalam ketimbang prediksi konsensus yang sebesar 388 ribu barel.
Berdasarkan keterangan EIA, penurunan stok diakibatkan oleh adanya perlambatan impor.
Menurut keterangan direktur pelaksana Valour Markets, Stephen Innes, penurunan stok minyak di AS menjadi konfirmasi atas efektifnya pemangkasan pasokan yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dikutip dari Reuters.
Sebagaimana yang telah diketahui, OPEC bersama sekutunya termasuk Rusia telah sepakat untuk terus mempertahankan pangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel/hari hingga Maret 2020 mendatang.
Kuota pemangkasan dihitung dari tingkat produksi acuan bulan Oktober 2018.
Awal bulan ini Arab Saudi juga telah berkomitmen untuk menekan ekspor minyak agar terus berada di level 7 juta barel/hari di bulan Agustus dan September untuk menyikapi risiko perlambatan ekonomi global.
OPEC dan sekutunya dijadwalkan menggelar pertemuan pada 12 September mendatang untuk membahas perkembangan pasar minyak global.
Sementara itu harga minyak juga masih mendapat tekanan dari kekhawatiran akan perlambatan ekonomi yang sulit untuk diredam.
Kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps. Lantas, gaung resesi sudah semakin keras disuarakan oleh pasar obligasi AS.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Sementara itu ancaman resesi juga datang dari Benua Biru.
Kemarin, Ratu Elizabeth memberikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.
Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan depan hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Pada hari Selasa, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.
Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Resesi tentu saja bukan kabar baik di pasar energi, termasuk minyak mentah. Terlebih yang terancam resesi adalah AS dan Inggris, negara dengan kekuatan ekonomi nomor 1 dan 5 di dunia.
Dampaknya sudah tentu akan merembet kemana-mana. Perlambatan ekonomi global akan menyeret permintaan minyak lebih rendah lagi. Alhasil keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi timpang dan membebani harga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular