Timur Tengah, The Fed, dan BI Bikin Nasib Rupiah Tak Pasti

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 August 2019 08:41
Timur Tengah, The Fed, dan BI Bikin Nasib Rupiah Tak Pasti
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot hari ini. Namun itu tidak lama, karena rupiah langsung terpeleset ke zona merah. 

Pada Selasa (20/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.230 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Akan tetapi, tidak lama kemudian rupiah melemah. Pada pukul 08:23 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.255 di mana rupiah melemah 0,18%. 


Pelemahan rupiah agak termaklumkan karena sejumlah mata uang utama Asia juga sulit menghadapi keperkasaan dolar AS. Depresiasi 0,18% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India. 

Sebagai catatan, rupee masih mencerminkan posisi penutupan perdagangan kemarin karena pasar keuangan Negeri Bollywood belum dibuka. Kalau nanti pasar keuangan India sudah buka, entah bagaimana nasib rupiah. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:32 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sepertinya perkembangan di Timur Tengah sedikit banyak mempengaruhi gerak rupiah. Akhir pekan lalu, pasukan milisi Houthi di Yaman menyerang fasilitas minyak milik Arab Saudi. Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan pesawat tanpa awak (drone). 

Serangan milisi Houthi, yang dibekingi Iran, menyebabkan kebakaran di fasilitas tersebut. Namun Saudi Aramco, raksasa migas Arab Saudi yang menjalankan fasilitas itu, menegaskan produksi tidak terpengaruh. 

Ketegangan Iran vs Arab Saudi dan sekutunya membuat suasana di Timur Tengah menjadi penuh dengan ketidakpastian. Tensi bisa meninggi kapan saja, dan bukan tidak mungkin bisa terjadi kontak bersenjata berikutnya. 

Selain bisa mendorong investor untuk bermain aman, bara di kawasan Teluk pun sangat mungkin mendongkrak harga minyak. Sebab Timur Tengah adalah kawasan produsen minyak terbesar di dunia. Jika terjadi eskalasi, maka bisa mengganggu produksi dan distribusi si emas hitam ke pasar dunia sehingga harga bergerak ke utara. 

Bagi Indonesia, khususnya rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir minyak, yang harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. 

Saat harga minyak naik, maka biaya impor komoditas ini tentu semakin mahal. Semakin banyak valas yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga menekan neraca perdagangan, transaksi berjalan (current account), sampai Neraca Pembayaran Indonesia yang merupakan fondasi bagi kekuatan nilai tukar mata uang.  

Ketika neraca perdagangan, transaksi berjalan, sampai Neraca Pembayaran defisit, maka fondasi rupiah akan lemah. Tanpa pijakan yang kuat, rupiah tentu sangat mudah melemah. 

Investor semakin ogah mengoleksi rupiah kala mereka pun sedang dalam masa penantian. Pekan ini, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menggelar pertemuan tahunan di Jackson Hole. Pertemuan ini sangat dinanti oleh pelaku pasar, yang sedang mencari petunjuk lebih jelas mengenai arah kebijakan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke 1,75-2% pada rapat The Fed 18 September mencapai 95%. Namun jika Ketua Jerome 'Jay' Powell menyebut sesuatu di Jackson Hole yang bisa menjadi petunjuk baru, maka peta permainan bisa berubah. 


Selain itu, investor juga menantikan rapat bulanan Bank Indonesia (BI) untuk menentukan suku bunga acuan. Berdasarkan konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia, BI diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan di 5,75%. Namun suara pasar terbelah, yang meramal BI 7 Day Reverse Repo rate diturunkan 25 bps menjadi 5,5% tidaklah sedikit. 

Dilatarbelakangi berbagai ketidakpastian di atas, pelaku pasar memilih menjauhi rupiah untuk sementara waktu. Apabila situasi di Timur Tengah sudah mendingin, sudah ada petunjuk mengenai arah kebijakan moneter AS, dan Gubernur BI Perry Warjiyo menetapkan suku bunga acuan sesuai dengan ekspektasi pasar, maka rupiah bisa bangkit kembali.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular