Sinyal Resesi Menguat dari Obligasi, Wall Street Dibuka Drop

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 August 2019 20:58
Bursa AS jatuh pada pembukaan Rabu, membalik reli kemarin, setelah pasar obligasi AS kian kencang mengirim sinyal resesi.
Foto: REUTERS/Lucas Jackson
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) jatuh pada pembukaan perdagangan Rabu (14/8/2019), membalik reli yang dibukukan kemarin setelah pasar obligasi Negara Adidaya tersebut kian kencang mengirim sinyal resesi.

Indeks Dow Jones Industrial Average melemah 430 poin pada pembukaan, sementara indeks S&P 500 tertekan 1,3% bersamaan dengan koreksi indeks Nasdaq yang mencapai 1,7%.Imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun jatuh di bawah yield obligasi jangka pendek tenor dua tahun, yang bagi pelaku pasar merupakan sinyal resesi.

Tak pelak, investor memburu aset minim risiko (safe haven), hingga mendorong yield obligasi 30 tahun menyentuh rekor terendahnya.
Saham sektor perbankan tertekan, dipimpin saham Bank of America dan Citigroup yang masing-masing tertekan lebih dari 3%, sedangkan saham J.P. Morgan melemah 3%.

"Bursa saham AS kehabisan waktu di tengah inversi kurva yield," tulis technical strategist Bank of America Stephen Suttmeier, dikutip CNBC International
Menurut catatan Credit Suisse, inversi antara obligasi pemerintah AS tenor 2-tahun dan 10-tahun terjadi lima kali sejak 1978 dan semuanya mengindikasikan resesi, meski dengan tenggat yang panjang.

Jika dirata-rata, resesi tersebut terjadi setelah 22 bulan inversi.
Terakhir, inversi tersebut terjadi pada Desember 2005, dua tahun sebelum krisis finansial menghantam pada 2007. Dan selama itu pula indeks S&P 500 membukukan gain sebesar 15% selama 18 bulan sebelum akhirnya krisis pecah.

"Secara historis, inversi tersebut berarti bahwa kita harus bersiap mengantisipasi resesi antara 6 hingga 18 bulan dari sekarang yang secara drastis dan secara buruk mengubah outlook jangka menengah hingga jangka panjang terhadap pasar secara luas," tulis Pendiri The Sevens Report Tom Essaye, dalam catatannya pada Rabu.

Investor juga masih mewaspadai perang dagang antara AS-China dan sejauh mana dampaknya terhadap ekonomi global setelah Beijing merilis data produksi manufaktur Juli yang melambat ke 4,8% (tahunan), atau di bawah ekspektasi pasar.

Data tersebut keluar setelah AS mengumumkan penundaan tarif atas beberapa produk China seperti pakaian dan ponsel yang semula terancam kena tarif impor sebesar 10%. Tarif lainnya akan ditunda menjadi 15 Desember, dari rencana semula pada 1 September.

Presiden AS Donald Trump mengatakan kebijakan itu ditujukan untuk menghindari potensi dampak negatif yang bisa muncul jelang musim belanja Natal. Dia juga menyatakan sikap ini akan membuat China lebih terdorong untuk mencapai kesepakatan.

Bursa AS menghijau merespons pengumuman itu, dengan Dow Jones melonjak 529 poin sebelum kemudian ditutup dengan menguat 372 poin.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Setelah Nasdaq Pecah Rekor, Wall Street Melemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular