"Capek" Koreksi, Wall Street Dibuka Naik Meski Minim Pemicu

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 August 2019 21:09
Bursa AS melaju ke teritori positif pada pembukaan Selasa menyusul koreksi tiga hari berturut-turut yang membuat saham AS kian murah.
Foto: REUTERS/Eduardo Munoz
Jakarta, CNBC Indonesia-Bursa saham Amerika Serikat (AS) melaju ke teritori positif pada pembukaan perdagangan Selasa (13/8/2019) menyusul koreksi tiga hari berturut-turut yang membuat saham-saham AS kian murah.

Indeks Dow Jones Industrial Average dibuka menguat 57 poin pada pukul 08:30 waktu setempat (20:30 WIB), dan melesat hingga 300 poin (1,2%) selang 20 menit kemudian ke 16.197,8. Sementara itu, indeks S&P 500 naik 1,5% (42,5 poin) ke 2.920,38 dan indeks Nasdaq tumbuh 140,6 poin (1,8%) ke 8.000,42.

Saham teknologi seperti Apple memimpin kenaikan harga saham. Saham Apple tercatat menguat 1,5% pada sesi pembukaan setelah pelaku pasar mengantisipasi risiko resesi dengan mengacu pada indikator pasar obligasi.

Rentang imbal hasil (yield) antara obligasi pemerintah AS bertenor dua tahun dan 10 tahun kian menyempit menjadi hanya 2,5 basis poin pada Selasa. FactSet mencatat kurva itu merupakan yang paling datar sejak 2007. Inversi kurva yield dinilai sebagai indikator kuat resesi.

Pelaku pasar terlihat mengekor pergerakan pasar obligasi. Ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS anjlok ke 1,63%--yang berarti harganya naik alias sedang diburu, indeks Dow anjlok nyaris 400 poin pada Senin.

Di tengah kekhawatiran seputar inversi kurva yield, Credit Suisse mencatat bahwa tren sejak 1978 menunjukkan bahwa bursa saham menguat sebelum krisis menghantam. Resesi terjadi dalam 22 bulan setelah kurva inversi yield terjadi.

"Ada banyak kekhawatiran yang menaungi pasar obligasi," tutur chief investment strategist Leuthold Group Jim Paulsen. "Inversi itu menjadi risiko terbesar saat ini. Faktanya kita memiliki yield negatif di seluruh dunia yang mengirimkan sinyal berbeda."

Di luar faktor-faktor tersebut, panasnya tensi politik di Hong Kong dan jatuhnya mata uang Argentina juga mendorong investor memilih aset minim risiko (safe haven) seperti emas, yen Jepang, dan obligasi AS.

Namun sentimen pasar masih terhitung rentan karena naiknya tensi perang dagang antara AS dan China, yang berujung pada risiko perang mata uang. Pembicaraan atau negosiasi dagang baru akan dilakukan pada awal September di Washington.

China sekali lagi menyetel nilai tengah yuan pada 7,0326 per dolar AS pada Selasa, menjadi sesi perdagangan keempat di mana bank sentral Negeri Panda yakni People's Bank of China (PBoC) melemahkan mata uangnya melewati level psikologis 7 yuan/dollar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Setelah Nasdaq Pecah Rekor, Wall Street Melemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular