
Waspada Investor! Agustus Kurang Bersahabat untuk IHSG
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 August 2019 14:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham tanah air memulai perdagangan di bulan Agustus dengan kurang meyakinkan. Memang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses membukukan apresiasi dalam tiga hari perdagangan terakhir. Namun, per akhir sesi satu perdagangan hari ini (Senin, 12/8/2019), indeks saham acuan di Indonesia tersebut membukukan koreksi sebesar 0,53% ke level 6.248,8.
Jika dihitung sepanjang bulan ini (per akhir sesi satu perdagangan hari ini), IHSG terkoreksi hingga 2,22%. Bahkan, koreksi IHSG pada bulan ini sempat mencapai 4% lebih.
Ternyata, bulan Agustus memang biasanya menjadi momok bagi pelaku pasar saham tanah air. Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode 10 tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, bulan Agustus merupakan bulan dengan rata-rata koreksi terdalam bagi IHSG.
Pada bulan Agustus, secara rata-rata IHSG membukukan koreksi sebesar 1,69% secara bulanan. Sejatinya, hanya ada dua bulan di mana IHSG membukukan rata-rata imbal hasil negatif secara bulanan, yakni Agustus dan November. Namun, rata-rata koreksi IHSG pada bulan Agustus lebih dalam ketimbang rata-rata koreksi pada bulan November yang hanya sebesar 1,13%.
Jika ditilik lebih dalam, ternyata bulan Agustus menjadi bulan terbanyak di mana IHSG membukukan koreksi di atas 5% secara bulanan. Dalam periode 2009-2018, tercatat tiga kali IHSG ambruk lebih dari 5% secara bulanan pada bulan Agustus, yakni pada tahun 2011, 2013, dan 2015.
Koreksi IHSG yang mencapai 9,01% pada Agustus 2013 bahkan menjadi koreksi bulanan terdalam yang pernah disaksikan investor dalam 10 tahun terakhir.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tahun Ini Bagaimana? Pada Agustus 2019, tampaknya situasi tak akan berubah banyak. Peluang IHSG mencetak koreksi secara bulanan sangatlah terbuka. Peluang bagi IHSG mencetak koreksi lebih dari 5% juga terbuka lebar.
Pasalnya, kondisi eksternal dan internal sangatlah riskan bagi pasar saham dunia, termasuk pasar saham tanah air. Dari sisi eksternal, ada perang dagang AS-China yang tak kunjung usai.
Untuk diketahui, pada awal bulan ini Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter] China kemudian mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru tersebut. Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Ternyata, serangan balasan China tak sampai disitu saja. Melalui bank sentralnya yakni People's Bank of China (PBOC), China terus melemahkan nilai tukar yuan dengan mematok nilai tengahnya di level yang lebih rendah.
Sebagai informasi, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya. Nilai tukar yuan di pasar onshore kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar. Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore.
AS pun kemudian berang dengan China yang berujung pada pemberian label "manipulator mata uang" kepada Negeri panda oleh Kementerian Keuangan AS.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, maka produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Perkembangan terbaru, Trump membuka kemungkinan bahwa dialog dagang AS-China yang dijadwalkan pada bulan September bisa dibatalkan. Sejatinya, AS dan China berencana menggelar negosiasi dagang di Washington pada awal bulan depan sebagai tindak lanjut dari negosiasi dagang beberapa waktu yang lalu di Shanghai.
"Mungkin, tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump pada akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters.
Dengan perkembangan perang dagang yang begitu buruk sejauh ini, dan jika perkembangannya tetap buruk kedepannya, tentu laju IHSG akan menjadi terganjal. Maklum, perang dagang AS-China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi tentu akan menekan laju perekonomian global sehingga pasar saham menjadi tak menarik.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Angka CAD Bikin Gemetar Dari dalam negeri, tekanan bagi IHSG untuk bulan ini datang dari rilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal II-2019 oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Jumat (9/8/2019). Kalau pada kuartal I-2019 NPI membukukan surplus senilai US$ 2,42 miliar, pada kuartal II-2019 situasinya berbalik 180 derajat. NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar.
NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari Tanah Air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.
Yang lebih membuat geleng-geleng kepala ada pos transaksi berjalan yang merupakan komponen dari NPI itu sendiri. Untuk diketahui, posisi transaksi berjalan menjadi faktor yang sangat penting dalam mendikte pergerakan rupiah.
Pasalnya, arus devisa yang mengalir dari pos transaksi berjalan cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada kuartal II-2019, BI mencatat bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB. Bahkan jika dirunut ke belakang, CAD pada kuartal II-2019 merupakan CAD kuartal II terburuk dalam lima tahun atau sejak 2014.
Ternyata, lesunya ekspor barang menjadi salah satu biang keladi dari jebolnya CAD. Pada tiga bulan kedua tahun ini, ekspor barang tercatat hanya senilai US$ 40,08 miliar, menandai ekspor barang terendah sejak kuartal II-2017.
Jika dihitung secara tahunan (kuartal II-2018 ke kuartal II-2019), ekspor barang terkontraksi sebesar 8,37%. Memang, impor juga turun jika dihitung dari kuartal II-2018 ke kuartal II-2019. Namun, penurunannya lebih kecil yakni sebesar 8,21%.
Alhasil, surplus neraca barang Indonesia pun terpangkas, dari US$ 277 juta pada kuartal II-2018 menjadi US$ 187 juta pada kuartal II-2019.
Pada kuartal I-2019, surplus neraca barang mencapai US$ 1,19 miliar, di mana surplus tersebut saja sudah jauh lebih rendah dari surplus yang dibukukan pada kuartal I-2018 senilai US$ 2,32 miliar.
Kala CAD pada dua kuartal pertama tahun ini sudah lebih dalam ketimbang CAD pada dua kuartal pertama tahun lalu, besar kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018.
Rupiah pun tersungkur pada hari ini. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.215/dolar AS. Kedepannya, rupiah bisa terus terbebani oleh angka CAD yang jeblok tersebut, apalagi jika melihat belum ada tanda-tanda mendinginnya perang dagang AS-China.
Pelemahan rupiah tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar saham tanah air. BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Waspadai Rilis Data Perdagangan Internasional Kedepannya, pelaku pasar juga perlu mewaspadai rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Rencananya, data ini akan dirilis pada hari Kamis (15/8/2019).
Mengutip Trading Economics, ekspor periode Juli 2019 diproyeksikan jatuh sebesar 8,7% secara tahunan, sementara impor melemah 5%. Alhasil, neraca dagang diproyeksikan mencetak surplus sebesar US$ 200 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara CAD pada kuartal III-2019 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Jika ternyata neraca dagang Indonesia membukukan defisit pada periode Juli 2019, apalagi jika defisitnya besar, maka akan ada kekhawatiran bahwa transaksi berjalan akan kembali membengkak pada kuartal III-2019. Akibatnya, rupiah pun bisa semakin loyo dan membuat IHSG semakin tertekan.
Jadi, jika berkaca kepada sejarah dan jika mencermati sentimen-sentimen yang ada, rasanya tak salah jika pelaku pasar rileks sejenak dengan melepas kepemilikannya atas saham-saham di tanah air pada bulan Agustus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Jika dihitung sepanjang bulan ini (per akhir sesi satu perdagangan hari ini), IHSG terkoreksi hingga 2,22%. Bahkan, koreksi IHSG pada bulan ini sempat mencapai 4% lebih.
Ternyata, bulan Agustus memang biasanya menjadi momok bagi pelaku pasar saham tanah air. Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode 10 tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, bulan Agustus merupakan bulan dengan rata-rata koreksi terdalam bagi IHSG.
Pada bulan Agustus, secara rata-rata IHSG membukukan koreksi sebesar 1,69% secara bulanan. Sejatinya, hanya ada dua bulan di mana IHSG membukukan rata-rata imbal hasil negatif secara bulanan, yakni Agustus dan November. Namun, rata-rata koreksi IHSG pada bulan Agustus lebih dalam ketimbang rata-rata koreksi pada bulan November yang hanya sebesar 1,13%.
Jika ditilik lebih dalam, ternyata bulan Agustus menjadi bulan terbanyak di mana IHSG membukukan koreksi di atas 5% secara bulanan. Dalam periode 2009-2018, tercatat tiga kali IHSG ambruk lebih dari 5% secara bulanan pada bulan Agustus, yakni pada tahun 2011, 2013, dan 2015.
Koreksi IHSG yang mencapai 9,01% pada Agustus 2013 bahkan menjadi koreksi bulanan terdalam yang pernah disaksikan investor dalam 10 tahun terakhir.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tahun Ini Bagaimana? Pada Agustus 2019, tampaknya situasi tak akan berubah banyak. Peluang IHSG mencetak koreksi secara bulanan sangatlah terbuka. Peluang bagi IHSG mencetak koreksi lebih dari 5% juga terbuka lebar.
Pasalnya, kondisi eksternal dan internal sangatlah riskan bagi pasar saham dunia, termasuk pasar saham tanah air. Dari sisi eksternal, ada perang dagang AS-China yang tak kunjung usai.
Untuk diketahui, pada awal bulan ini Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter] China kemudian mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru tersebut. Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Ternyata, serangan balasan China tak sampai disitu saja. Melalui bank sentralnya yakni People's Bank of China (PBOC), China terus melemahkan nilai tukar yuan dengan mematok nilai tengahnya di level yang lebih rendah.
Sebagai informasi, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya. Nilai tukar yuan di pasar onshore kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar. Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore.
AS pun kemudian berang dengan China yang berujung pada pemberian label "manipulator mata uang" kepada Negeri panda oleh Kementerian Keuangan AS.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, maka produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Perkembangan terbaru, Trump membuka kemungkinan bahwa dialog dagang AS-China yang dijadwalkan pada bulan September bisa dibatalkan. Sejatinya, AS dan China berencana menggelar negosiasi dagang di Washington pada awal bulan depan sebagai tindak lanjut dari negosiasi dagang beberapa waktu yang lalu di Shanghai.
"Mungkin, tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump pada akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters.
Dengan perkembangan perang dagang yang begitu buruk sejauh ini, dan jika perkembangannya tetap buruk kedepannya, tentu laju IHSG akan menjadi terganjal. Maklum, perang dagang AS-China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi tentu akan menekan laju perekonomian global sehingga pasar saham menjadi tak menarik.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Angka CAD Bikin Gemetar Dari dalam negeri, tekanan bagi IHSG untuk bulan ini datang dari rilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal II-2019 oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Jumat (9/8/2019). Kalau pada kuartal I-2019 NPI membukukan surplus senilai US$ 2,42 miliar, pada kuartal II-2019 situasinya berbalik 180 derajat. NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar.
NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari Tanah Air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.
Yang lebih membuat geleng-geleng kepala ada pos transaksi berjalan yang merupakan komponen dari NPI itu sendiri. Untuk diketahui, posisi transaksi berjalan menjadi faktor yang sangat penting dalam mendikte pergerakan rupiah.
Pasalnya, arus devisa yang mengalir dari pos transaksi berjalan cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada kuartal II-2019, BI mencatat bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB. Bahkan jika dirunut ke belakang, CAD pada kuartal II-2019 merupakan CAD kuartal II terburuk dalam lima tahun atau sejak 2014.
Ternyata, lesunya ekspor barang menjadi salah satu biang keladi dari jebolnya CAD. Pada tiga bulan kedua tahun ini, ekspor barang tercatat hanya senilai US$ 40,08 miliar, menandai ekspor barang terendah sejak kuartal II-2017.
Jika dihitung secara tahunan (kuartal II-2018 ke kuartal II-2019), ekspor barang terkontraksi sebesar 8,37%. Memang, impor juga turun jika dihitung dari kuartal II-2018 ke kuartal II-2019. Namun, penurunannya lebih kecil yakni sebesar 8,21%.
Alhasil, surplus neraca barang Indonesia pun terpangkas, dari US$ 277 juta pada kuartal II-2018 menjadi US$ 187 juta pada kuartal II-2019.
Pada kuartal I-2019, surplus neraca barang mencapai US$ 1,19 miliar, di mana surplus tersebut saja sudah jauh lebih rendah dari surplus yang dibukukan pada kuartal I-2018 senilai US$ 2,32 miliar.
Kala CAD pada dua kuartal pertama tahun ini sudah lebih dalam ketimbang CAD pada dua kuartal pertama tahun lalu, besar kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018.
Rupiah pun tersungkur pada hari ini. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.215/dolar AS. Kedepannya, rupiah bisa terus terbebani oleh angka CAD yang jeblok tersebut, apalagi jika melihat belum ada tanda-tanda mendinginnya perang dagang AS-China.
Pelemahan rupiah tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar saham tanah air. BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Waspadai Rilis Data Perdagangan Internasional Kedepannya, pelaku pasar juga perlu mewaspadai rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Rencananya, data ini akan dirilis pada hari Kamis (15/8/2019).
Mengutip Trading Economics, ekspor periode Juli 2019 diproyeksikan jatuh sebesar 8,7% secara tahunan, sementara impor melemah 5%. Alhasil, neraca dagang diproyeksikan mencetak surplus sebesar US$ 200 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara CAD pada kuartal III-2019 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Jika ternyata neraca dagang Indonesia membukukan defisit pada periode Juli 2019, apalagi jika defisitnya besar, maka akan ada kekhawatiran bahwa transaksi berjalan akan kembali membengkak pada kuartal III-2019. Akibatnya, rupiah pun bisa semakin loyo dan membuat IHSG semakin tertekan.
Jadi, jika berkaca kepada sejarah dan jika mencermati sentimen-sentimen yang ada, rasanya tak salah jika pelaku pasar rileks sejenak dengan melepas kepemilikannya atas saham-saham di tanah air pada bulan Agustus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular