
India, Thailand, Selandia Baru Turunkan Bunga, RI Banjir Dana
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
08 August 2019 12:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah Indonesia menguat ketika muncul secercah harapan terhadap pertemuan China-AS di tengah-tengah berkecamuknya perang dagang yang turut membuat pasar keuangan global turut sumringah pagi ini. Faktor positif lain yang mendukung pasar surat utang pemerintah rupiah adalah turunnya suku bunga acuan tiga negara kemarin.
Naiknya harga Surat Utang Negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara lain. Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun. Seri acuan yang paling menguat adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 5,5 basis poin (bps) menjadi 7,45%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sumber: Refinitiv
Sentimen positif datang dari Gedung Putih, yang lebih mengendur dibandingkan ketika mengeluarkan maklumat tentang rencana pengenaan tambahan tarif impor 10% terhadap US$ 300 miliar barang impor dari China. Dalam wawancara dengan CNBC International, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump masih terbuka untuk menandatangani kesepakatan dagang dengan China.
"Beliau (Presiden Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango (it takes two to tango)," kata Kudlow.
Sebelumnya, awal pekan ini, Trump sempat menuduh China sengaja menurunkan nilai yuan di hadapan dolar AS hingga di atas level psikologis 7 yuan per dolar AS, terendah sejak 2008. Tuduhan itu diikuti dengan sebutan China sebagai manipulator mata uang.
China adalah negara yang memiliki kuasa untuk mengatur nilai mata uangnya, dan setiap pelemahan yuan dapat berdampak pada naiknya ekspor China tetapi tentu dapat merugikan AS yang masih memiliki defisit perdagangan dengan China.
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 571 bps, menyempit dari posisi kemarin 581 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 1,74% dari posisi kemarin 1,69%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang besarannya masih cukup besar yaitu 29 bps.
Inversi kedua tenor lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu. Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang. Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.014 triliun SBN, atau 39,16% dari total beredar Rp 2.591 triliun berdasarkan data per 6 Agustus.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 121,68 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, tetapi menunjukkan adanya arus keluar sebesar Rp 4,43 triliun sejak pada Senin dan Selasa pekan ini.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article Market Bites: WIKA Siap Galang Dana dari Obligasi dan Sukuk
Naiknya harga Surat Utang Negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara lain. Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Yield Obligasi Negara Acuan 8 Aug'19 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 7 Aug'19 (%) | Yield 8 Aug'19 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 7 Aug'19 (%) |
FR0077 | 5 tahun | 7.047 | 6.996 | -5.10 | 6.9893 |
FR0078 | 10 tahun | 7.51 | 7.455 | -5.50 | 7.4531 |
FR0068 | 15 tahun | 7.903 | 7.881 | -2.20 | 7.8706 |
FR0079 | 20 tahun | 8.11 | 8.058 | -5.20 | 8.0943 |
Avg movement | -4.50 |
Sentimen positif datang dari Gedung Putih, yang lebih mengendur dibandingkan ketika mengeluarkan maklumat tentang rencana pengenaan tambahan tarif impor 10% terhadap US$ 300 miliar barang impor dari China. Dalam wawancara dengan CNBC International, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump masih terbuka untuk menandatangani kesepakatan dagang dengan China.
"Beliau (Presiden Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango (it takes two to tango)," kata Kudlow.
Sebelumnya, awal pekan ini, Trump sempat menuduh China sengaja menurunkan nilai yuan di hadapan dolar AS hingga di atas level psikologis 7 yuan per dolar AS, terendah sejak 2008. Tuduhan itu diikuti dengan sebutan China sebagai manipulator mata uang.
China adalah negara yang memiliki kuasa untuk mengatur nilai mata uangnya, dan setiap pelemahan yuan dapat berdampak pada naiknya ekspor China tetapi tentu dapat merugikan AS yang masih memiliki defisit perdagangan dengan China.
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 571 bps, menyempit dari posisi kemarin 581 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 1,74% dari posisi kemarin 1,69%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang besarannya masih cukup besar yaitu 29 bps.
Inversi kedua tenor lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu. Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang. Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 8 Aug'19 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 7 Aug'19 (%) | Yield 8 Aug'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.021 | 2.028 | 3 bulan-5 tahun | 48.8 |
UST 2020 | 2 Tahun | 1.571 | 1.605 | 2 tahun-5 tahun | 6.5 |
UST 2021 | 3 Tahun | 1.505 | 1.543 | 3 tahun-5 tahun | 0.3 |
UST 2023 | 5 Tahun | 1.502 | 1.54 | 3 bulan-10 tahun | 29.5 |
UST 2028 | 10 Tahun | 1.691 | 1.733 | 2 tahun-10 tahun | -12.8 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.014 triliun SBN, atau 39,16% dari total beredar Rp 2.591 triliun berdasarkan data per 6 Agustus.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 121,68 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, tetapi menunjukkan adanya arus keluar sebesar Rp 4,43 triliun sejak pada Senin dan Selasa pekan ini.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 7 Aug'19 (%) | Yield 8 Aug'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 7.28 | 7.19 | -9.00 |
China | 3.073 | 3.065 | -0.80 |
Jerman | -0.579 | -0.573 | 0.60 |
Perancis | -0.316 | -0.308 | 0.80 |
Inggris | 0.485 | 0.477 | -0.80 |
India | 6.369 | 6.366 | -0.30 |
Jepang | -0.196 | -0.194 | 0.20 |
Malaysia | 3.541 | 3.494 | -4.70 |
Filipina | 4.527 | 4.539 | 1.20 |
Rusia | 7.29 | 7.31 | 2.00 |
Singapura | 1.764 | 1.776 | 1.20 |
Thailand | 1.6 | 1.52 | -8.00 |
Amerika Serikat | 1.691 | 1.74 | 4.90 |
Afrika Selatan | 8.43 | 8.375 | -5.50 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article Market Bites: WIKA Siap Galang Dana dari Obligasi dan Sukuk
Most Popular