
Iringi Koreksi Rupiah, Harga Obligasi Bergerak Melawan Tren
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
24 July 2019 18:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi obligasi rupiah pemerintah bertahan hingga akhir perdagangan hari ini setelah nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga Rp 14.000 per dolar AS. Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa.
Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 5 basis poin (bps) menjadi 7,61%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sumber: Refinitiv
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah.
Indeks tersebut turun 0,06 poin (0,02%) menjadi 259,83 dari posisi kemarin 259,89. Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 520 bps, melebar dari posisi kemarin 518 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 2,05% dari posisi kemarin 2,07%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain. Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri pendek dibanding yield seri panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.010 triliun SBN, atau 39,27% dari total beredar Rp 2.573 triliun berdasarkan data per 19 Juli.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 117,29 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama. Koreksi di pasar surat utang hari ini juga di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,29% dan 0,07%.
Rupiah sempat turun dan menembus Rp 14.000 per dolar AS, tetapi akhirnya koreksi tersebut berhasil mereda menjadi Rp 13.990 per dolar AS pada penutupan pasar tetapi masih tetap menjadi yang terlemah di Asia.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa.
Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 5 basis poin (bps) menjadi 7,61%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Yield Obligasi Negara Acuan 24 Jul'19 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 23 Jul'19 (%) | Yield 24 Jul'19 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 24 Jul'19 (%) |
FR0077 | 5 tahun | 6.669 | 6.682 | 1.30 | 6.6552 |
FR0078 | 10 tahun | 7.261 | 7.266 | 0.50 | 7.2454 |
FR0068 | 15 tahun | 7.562 | 7.612 | 5.00 | 7.5988 |
FR0079 | 20 tahun | 7.773 | 7.775 | 0.20 | 7.7606 |
Avg movement | 1.75 |
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah.
Indeks tersebut turun 0,06 poin (0,02%) menjadi 259,83 dari posisi kemarin 259,89. Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 520 bps, melebar dari posisi kemarin 518 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 2,05% dari posisi kemarin 2,07%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain. Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri pendek dibanding yield seri panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 23 Jul'19 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 23 Jul'19 (%) | Yield 24 Jul'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.092 | 2.085 | 3 bulan-5 tahun | 27 |
UST 2020 | 2 Tahun | 1.829 | 1.818 | 2 tahun-5 tahun | 0.3 |
UST 2021 | 3 Tahun | 1.799 | 1.788 | 3 tahun-5 tahun | -2.7 |
UST 2023 | 5 Tahun | 1.825 | 1.815 | 3 bulan-10 tahun | 2.8 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.074 | 2.057 | 2 tahun-10 tahun | -23.9 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.010 triliun SBN, atau 39,27% dari total beredar Rp 2.573 triliun berdasarkan data per 19 Juli.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 117,29 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama. Koreksi di pasar surat utang hari ini juga di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,29% dan 0,07%.
Rupiah sempat turun dan menembus Rp 14.000 per dolar AS, tetapi akhirnya koreksi tersebut berhasil mereda menjadi Rp 13.990 per dolar AS pada penutupan pasar tetapi masih tetap menjadi yang terlemah di Asia.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 23 Jul'19 (%) | Yield 24 Jul'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 7.285 | 7.23 | -5.50 |
China | 3.162 | 3.178 | 1.60 |
Jerman | -0.357 | -0.369 | -1.20 |
Perancis | -0.092 | -0.107 | -1.50 |
Inggris | 0.692 | 0.682 | -1.00 |
India | 6.417 | 6.439 | 2.20 |
Jepang | -0.151 | -0.142 | 0.90 |
Malaysia | 3.599 | 3.616 | 1.70 |
Filipina | 4.846 | 4.793 | -5.30 |
Rusia | 7.27 | 7.25 | -2.00 |
Singapura | 1.957 | 1.943 | -1.40 |
Thailand | 1.98 | 1.96 | -2.00 |
Amerika Serikat | 2.074 | 2.058 | -1.60 |
Afrika Selatan | 8.03 | 8.085 | 5.50 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Most Popular