
Hijau Lagi Sob! Mampukah IHSG Menguat 2 Hari Beruntun?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 July 2019 09:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan koreksi sebesar 0,05% ke level 6.414,73, dengan cepat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membalikkan keadaan. Pada pukul 09:30 WIB, IHSG sudah mencetak apresiasi sebesar 0,09% ke level 6.423,76. Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka IHSGÂ akan membukukan penguatan selama dua hari beruntun.
IHSG bisa mencetak apresiasi kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei jatuh 0,7%, indeks Shanghai melemah 0,16%, indeks Hang Seng turun 0,16%, dan indeks Kospi terpangkas 0,03%.
Performa Wall Street yang menggembirakan tak mampu mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (15/7/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,1%, indeks S&P 500 menguat 0,02%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,17%. Walaupun tipis, ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertingginya sepanjang masa.
Ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS.
Kinerja bursa saham Asia dibebani oleh rilis angka pertumbuhan ekonomi China yang mengecewakan. Kemarin, biro statistik Negeri Panda mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China periode kuartal II-2019 berada di level 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Sejatinya, data ekonomi China lainnya bisa dibilang menggembirakan. Kemarin, produksi industri periode Juni 2019 diumumkan tumbuh sebesar 6,3%, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, penjualan barang-barang ritel periode Juni 2019 diumumkan melejit hingga 9,8% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,5%, dilansir dari Trading Economics.
Dari kedua data tersebut, terlihat bahwa tekanan terhadap perekonomian China sudah mengendur pada bulan Juni, walaupun secara keseluruhan untuk kuartal II-2019 terdapat tekanan yang signifikan.
Tapi tampaknya, pelaku pasar masih mengkhawatirkan laju perekonomian China. Pasalnya, hingga kini perang dagang dengan AS belum juga bisa diselesaikan.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar. Beruntung, surplus neraca dagang hadir menjadi penyelamat bagi bursa saham tanah air.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor periode Juni 2019 mengalami penurunan sebesar 8,98% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedikit lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor terkoreksi sebesar 8,3% YoY. Sementara itu, impor tercatat tumbuh 2,8% YoY, jauh lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 5,26% YoY.
Dengan begitu, surplus neraca dagang pada bulan Juni tercatat senilai US$ 196 juta. Neraca dagang berhasil mencetak surplus selama dua bulan beruntun, walaupun surplus pada bulan Juni berada di bawah ekspektasi yang senilai US$ 516 juta.
Walaupun surplus tercatat lebih rendah dari ekspektasi, pelaku pasar tampak menyusukuri surplus yang bisa dibukukan. Pasalnya dengan surplus yang ada, membuncah harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa ditekan.
Memang, rupiah melemah 0,07% di pasar spot pada perdagangan hari ini ke level Rp 13.925/dolar AS. Namun perlu diingat, kemarin rupiah sudah mencetak apresiasi hingga 0,6% sehingga wajar jika terjadi pelemahan pada hari ini.
Kedepannya, membuncahnya optimisme bahwa CAD akan menjadi bisa ditekan berpotensi terus mengerek kinerja rupiah. Sebagai informasi, jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Keyakinan bahwa rupiah akan mencetak kinerja yang oke di masa depan membuat aksi beli terus dilakukan oleh pelaku pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
IHSG bisa mencetak apresiasi kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei jatuh 0,7%, indeks Shanghai melemah 0,16%, indeks Hang Seng turun 0,16%, dan indeks Kospi terpangkas 0,03%.
Performa Wall Street yang menggembirakan tak mampu mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (15/7/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,1%, indeks S&P 500 menguat 0,02%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,17%. Walaupun tipis, ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertingginya sepanjang masa.
Kinerja bursa saham Asia dibebani oleh rilis angka pertumbuhan ekonomi China yang mengecewakan. Kemarin, biro statistik Negeri Panda mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China periode kuartal II-2019 berada di level 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Sejatinya, data ekonomi China lainnya bisa dibilang menggembirakan. Kemarin, produksi industri periode Juni 2019 diumumkan tumbuh sebesar 6,3%, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, penjualan barang-barang ritel periode Juni 2019 diumumkan melejit hingga 9,8% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,5%, dilansir dari Trading Economics.
Dari kedua data tersebut, terlihat bahwa tekanan terhadap perekonomian China sudah mengendur pada bulan Juni, walaupun secara keseluruhan untuk kuartal II-2019 terdapat tekanan yang signifikan.
Tapi tampaknya, pelaku pasar masih mengkhawatirkan laju perekonomian China. Pasalnya, hingga kini perang dagang dengan AS belum juga bisa diselesaikan.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar. Beruntung, surplus neraca dagang hadir menjadi penyelamat bagi bursa saham tanah air.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor periode Juni 2019 mengalami penurunan sebesar 8,98% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedikit lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor terkoreksi sebesar 8,3% YoY. Sementara itu, impor tercatat tumbuh 2,8% YoY, jauh lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 5,26% YoY.
Dengan begitu, surplus neraca dagang pada bulan Juni tercatat senilai US$ 196 juta. Neraca dagang berhasil mencetak surplus selama dua bulan beruntun, walaupun surplus pada bulan Juni berada di bawah ekspektasi yang senilai US$ 516 juta.
Walaupun surplus tercatat lebih rendah dari ekspektasi, pelaku pasar tampak menyusukuri surplus yang bisa dibukukan. Pasalnya dengan surplus yang ada, membuncah harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa ditekan.
Memang, rupiah melemah 0,07% di pasar spot pada perdagangan hari ini ke level Rp 13.925/dolar AS. Namun perlu diingat, kemarin rupiah sudah mencetak apresiasi hingga 0,6% sehingga wajar jika terjadi pelemahan pada hari ini.
Kedepannya, membuncahnya optimisme bahwa CAD akan menjadi bisa ditekan berpotensi terus mengerek kinerja rupiah. Sebagai informasi, jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Keyakinan bahwa rupiah akan mencetak kinerja yang oke di masa depan membuat aksi beli terus dilakukan oleh pelaku pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Most Popular