
Tok! OPEC+ Sepakat Lanjut Pangkas Produksi Minyak
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 July 2019 19:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah sepakat untuk meneruskan pemangkasan produksi minyak selama sembilan bulan mulai Juli 2019.
Kesepakatan tersebut dibuat pada pertemuan OPEC bersama sekutunya, termasuk Rusia pada hari Selasa (2/7/2019) di Wina, Austria.
Persekutuan yang biasa disebut dengan OPEC+ tersebut diketahui telah berupaya mengurangi pasokan sejak tahun 2017. Bahkan awal Desember 2018 silam, OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi minyak hingga 1,2 juta barel/hari atau 1,2% permintaan global.
Kuota pemangkasan produksi yang akan berlangsung hingga Maret 2020 tersebut juga akan sama dengan kesepakatan sebelumnya, yaitu 1,2 juta barel/hari.
Pelaku pasar sebenarnya sudah menduga OPEC+ akan terus menahan produksinya di level yang rendah seperti sekarang ini.
Minggu (30/6/2018), Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa dirinya telah setuju untuk memperpanjang masa pengetatan produksi minyak bersama dengan OPEC. Namun kala itu Putin masin belum memutuskan waktu perpanjangan. Bisa enam bulan atau sembilan bulan.
"Kami akan mendukung perpanjangan [pengurangan produksi minyak], baik Rusia dan Arab Saudi. Terkait masa perpanjangan, kami belum memutuskan apakah enam bulan atau sembilan bulan. Mungkin sembilan bulan," ujar Putin.
Bulan lalu, Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih juga menegaskan bahwa pihaknya masih akan terus mengurangi produksi minyak secara bertahap pada semester II-2019 dan menjaga pasokan di level yang 'normal'.
Meskipun demikian, keputusan untuk memperpanjang masa pengetatan pasokan tampaknya akan membuat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump agak sedikit kesal. Pasalnya, Trump telah berkali-kali meminta Arab Saudi yang merupakan pimpinan OPEC untuk memasok lebih banyak minyak guna menekan harga. Sebagai gantinya, AS akan menawarkan dukungan militer pada Arab Saudi untuk menghadapi perselisihan dengan Iran.
Kenaikan harga minyak memang akan membuat bensin menjadi lebih mahal bagi konsumen di AS. Hal itu berbahaya bagi Trump yang diketahui telah mencalonkan diri lagi dalam pemilu.
"Arab Saudi tengah berupaya menaikkan harga minyak ke level US$ 70/barel, meskipun berlawanan dengan keinginan Trump," ujar Gary Ross dari Black Gold Investors, dikutip dari Reuters.
Menyikapi keputusan OPEC+, pelaku pasar tampak kurang bergairah.
Tercatat pada perdagangan hari Selasa (2/7/2019) pukul 18:30 WIB, harga minyak Brent melemah 0,34% ke level US$ 64,84. Harga light sweet (WTI) juga melemah 0,37% menjadi US$ 58,87/barel.
Kuat diduga hal tersebut terjadi lantaran sejumlah data indikator aktivitas industri di sejumlah negara yang buruk.
Di Amerika Serikat (AS) Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur bulan Juni hanya sebesar 51,7, berdasarkan rilis Institute Supply Management (IHS). Meskipun angka di atas 50 berarti masih dalam fase ekspansi, namun capaian bulan Juni merupakan yang paling rendah sejak Oktober 2016.
Kondisinya sedikit lebih buruk di China, yang mana PMI bulan Juni hanya sebesar 49,4 atau paling kecil sejak Januari 2019. Bahkan aktivitas industri China tengah mengalami kontraksi.
Negeri Sakura pun juga bernasib serupa. Pembacaan awal PMI manufaktur bulan Juni versi Nikkei yang sebesar 49,5 telah direvisi menjadi 49,9 dan menandakan kontraksi paling parah dalam 3 bulan terakhir.
Data yang terpisah menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang bulan Juni berada di level 38,7 atau merupakan yang paling rendah sejak November 2014. Indeks tersebut mencerminkan pesimisme konsumen akan perekonomian Jepang ke depan, dan membuat bank sentral (Bank of Japan/BOJ) semakin terdesak untuk memberi stimulus moneter untuk menggenjot perekonomian.
Dari Korea Selatan, PMI manufaktur bulan Juni jatuh ke posisi 47,5 dari 48,4 di bulan sebelumnya. Nikkei menyebutkan bahwa penurunan angka PMI tersebut merupakan yang paling tajam dalam empat bulan terakhir. Sementara posisi bulan Juni merupakan kontraksi paling parah sejak Juni 2015.
Sederet data tersebut membuat bayang-bayang banjir pasokan kembali menghantui pasar minyak. Maklum, perlambatan ekonomi juga akan menyeret pertumbuhan permintaan ke bawah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(taa/taa) Next Article Gawat! Harga Minyak Dunia Terbang Tinggi ke US$ 90, Ini Pemicunya
Kesepakatan tersebut dibuat pada pertemuan OPEC bersama sekutunya, termasuk Rusia pada hari Selasa (2/7/2019) di Wina, Austria.
Persekutuan yang biasa disebut dengan OPEC+ tersebut diketahui telah berupaya mengurangi pasokan sejak tahun 2017. Bahkan awal Desember 2018 silam, OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi minyak hingga 1,2 juta barel/hari atau 1,2% permintaan global.
Pelaku pasar sebenarnya sudah menduga OPEC+ akan terus menahan produksinya di level yang rendah seperti sekarang ini.
Minggu (30/6/2018), Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa dirinya telah setuju untuk memperpanjang masa pengetatan produksi minyak bersama dengan OPEC. Namun kala itu Putin masin belum memutuskan waktu perpanjangan. Bisa enam bulan atau sembilan bulan.
"Kami akan mendukung perpanjangan [pengurangan produksi minyak], baik Rusia dan Arab Saudi. Terkait masa perpanjangan, kami belum memutuskan apakah enam bulan atau sembilan bulan. Mungkin sembilan bulan," ujar Putin.
Bulan lalu, Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih juga menegaskan bahwa pihaknya masih akan terus mengurangi produksi minyak secara bertahap pada semester II-2019 dan menjaga pasokan di level yang 'normal'.
Meskipun demikian, keputusan untuk memperpanjang masa pengetatan pasokan tampaknya akan membuat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump agak sedikit kesal. Pasalnya, Trump telah berkali-kali meminta Arab Saudi yang merupakan pimpinan OPEC untuk memasok lebih banyak minyak guna menekan harga. Sebagai gantinya, AS akan menawarkan dukungan militer pada Arab Saudi untuk menghadapi perselisihan dengan Iran.
Kenaikan harga minyak memang akan membuat bensin menjadi lebih mahal bagi konsumen di AS. Hal itu berbahaya bagi Trump yang diketahui telah mencalonkan diri lagi dalam pemilu.
"Arab Saudi tengah berupaya menaikkan harga minyak ke level US$ 70/barel, meskipun berlawanan dengan keinginan Trump," ujar Gary Ross dari Black Gold Investors, dikutip dari Reuters.
Menyikapi keputusan OPEC+, pelaku pasar tampak kurang bergairah.
Tercatat pada perdagangan hari Selasa (2/7/2019) pukul 18:30 WIB, harga minyak Brent melemah 0,34% ke level US$ 64,84. Harga light sweet (WTI) juga melemah 0,37% menjadi US$ 58,87/barel.
Kuat diduga hal tersebut terjadi lantaran sejumlah data indikator aktivitas industri di sejumlah negara yang buruk.
Di Amerika Serikat (AS) Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur bulan Juni hanya sebesar 51,7, berdasarkan rilis Institute Supply Management (IHS). Meskipun angka di atas 50 berarti masih dalam fase ekspansi, namun capaian bulan Juni merupakan yang paling rendah sejak Oktober 2016.
Kondisinya sedikit lebih buruk di China, yang mana PMI bulan Juni hanya sebesar 49,4 atau paling kecil sejak Januari 2019. Bahkan aktivitas industri China tengah mengalami kontraksi.
Negeri Sakura pun juga bernasib serupa. Pembacaan awal PMI manufaktur bulan Juni versi Nikkei yang sebesar 49,5 telah direvisi menjadi 49,9 dan menandakan kontraksi paling parah dalam 3 bulan terakhir.
Data yang terpisah menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang bulan Juni berada di level 38,7 atau merupakan yang paling rendah sejak November 2014. Indeks tersebut mencerminkan pesimisme konsumen akan perekonomian Jepang ke depan, dan membuat bank sentral (Bank of Japan/BOJ) semakin terdesak untuk memberi stimulus moneter untuk menggenjot perekonomian.
Dari Korea Selatan, PMI manufaktur bulan Juni jatuh ke posisi 47,5 dari 48,4 di bulan sebelumnya. Nikkei menyebutkan bahwa penurunan angka PMI tersebut merupakan yang paling tajam dalam empat bulan terakhir. Sementara posisi bulan Juni merupakan kontraksi paling parah sejak Juni 2015.
Sederet data tersebut membuat bayang-bayang banjir pasokan kembali menghantui pasar minyak. Maklum, perlambatan ekonomi juga akan menyeret pertumbuhan permintaan ke bawah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(taa/taa) Next Article Gawat! Harga Minyak Dunia Terbang Tinggi ke US$ 90, Ini Pemicunya
Most Popular